Cari Blog Ini

Rabu, 15 Mei 2013

SOSIOLINGUISTIK


RAGAM DIGLOSIA SEBAGAI VARIASI BAHASA REGIONAL
(Berdasarkan Observasi dan Studi Kasus di Kampung Sukamahi, Desa Pamanukan)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
            Bahasa merupakan salah satu hasil budaya yang bernilai sangat tinggi karena dengan bahasa manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Selain itu dengan bahasa manusia juga dimungkinkan dapat berkembang dan mengabstraksikan berbagai gejala yang muncul di lingkungan serta dengan bahasa pula manusia dapat mengekspresikan perasaannya dan dapat berkreativitas. Tak heran apabila banyak ditemukan fenomena unik dalam bisang sosiolinguistik yakni ditemukannya penggunaan bahasa yang berbeda meskipun berada dalam satu lingkup daerah yang sama sebagai akibat dari adanya latar belakang budaya dan kreativitas manusia yang berbeda.
            Fenomena unik tersebut salah satunya dapat ditemukan di Kampung Sukamahi Desa Pamanukan Kebupaten Subang, dimana masyarakat yang tinggal di kampung tersebut menggunakan bahasa yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat yang tinggal di kampung lain. Masyarakat yang tinggal di kampung Sukamahi menggunakan bahasa jawa sebagai alat komunikasi dan interaksi, sedangkan masyarakat lain yang berada di Kabupaten Subang menggunakan bahasa sunda sebagai alat komunikasi dan interaksi. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian terhadap situasi kebahasaan yang terjadi di Kampung Sukamahi Desa Pamanukan Kebupaten Subang.

B.       Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, kami akan membatasi masalah hanya pada masalah-masalah yang berkenaan dengan situasi kebahasaan di Kampung Sukamahi Desa Pamanukan Kebupaten Subang. Sehingga atas dasar pembatasan masalah di atas maka kami merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
§  Bagaimana profil situasi kebahasaan Kampung Sukamahi Desa Pamanukan?
§  Bagaimana wujud variasi kode bahasa yang terjadi?
§  Apa saja faktor sosial budaya yang menentukan pemilihan bahasa masyarakat di Kampung Sukamahi Desa Pamanukan?
§  Bagaimana wujud alih kode yang terjadi sebagai bentuk pilihan bahasa yang digunakan di masyarakat tersebut?
§  Apa saja faktor sosial budaya yang menentukan adanya alih kode dan campur kode dalam masyarakat Pamanukan Subang?
C.      Tujuan
       Berdasarkan pemaparan masalah yang kami kemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
§  Memberikan penjelesandan gambaran mengenai konsep situasi kebahasaan yang terjadi di Kampung Sukamahi Desa Pamanukan Kabupaten
§  Memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi situasi kebahasaan tersebut
D.    Manfaat
    Adapun manfaat yang dapat diambil dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
§  Memberikan gambaran situasi kebahasaan yang terjadi di Kampung Sukamahi Desa Pamanukan Kabupaten
§  Memperjelas pemahaman akan faktor-faktor yang mempengaruhi situasi kebahasaan tersebut
§  Sebagai bahan referensi guru atau mahasiswa mengenai situasi kebahasaan yang terjadi di suatu daerah




BAB II
LANDASAN TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN

A.    Landasan Teori

1.    Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

2.        Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu alih kode ekstern
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1.  Penutur
seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
Hal ini biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
3.        Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya, dan Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type)latar belakang sikap penutur
2. Kebahasaan(linguistik type)latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan
identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
a. penyisipan kata,
b. menyisipan frasa,
c. penyisipan klausa,
d. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

4.     Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
B.       Metodologi Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah masyarakat di desa Pamanukan Kabupaten Subang. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan situasi kebahasaan di wilayah tersebut dengan khazanah bahasa Jawa yang memiliki karaktersitik yang khas. Fokus kajian diarahkan pada kampung Sukamahi dengan pertimbangan adanya asumsi masyarakat Pamanukan sendiri bahwa kampong Sukamahi dipandang sebagai daerah yang memiliki variasi bahasa tersendiri dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Data penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data sekunder adalah data yang berupa informasi atau keterangan tentang latar sosial, budaya, dan situasional yang menjadi faktor penentu terjadinya peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data pertama dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara. Metode pertama dilakukan dengan teknik simak, Metode kedua dilakukan melalui wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (indept interview) . Kedua metode itu digunakan alat bantu rekam dan catat dengan menggunakan catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kontekstual.










BAB III
ANALISIS DATA
A.      Profil Situasi Kebahasaan
    Desa Pamanukan (Kota) terbagi menjadi tiga dusun, yaitu dusun Lebaksari, dusun Pangasinan, dan dusun Padek. Desa Pamanukan ini memiliki penduduk yang bersifat majemuk, baik etnis, suku, agama dan budaya, akan tetapi mereka dapat  hidup berdampingan tanpa adanya gesekan dalam kehidupan bermasyarakat.
   Berkaitan dengan situasi kebahasaan, yang menjadi salah satu objek penelitian kali ini, yaitu di Desa Pamanukan terdapat satu RW (Rukun Warga) tepatnya di Kampung Sukamahi, daerah bagian dusun Padek, yang memiliki keunikan dari segi penggunaan bahasa dalam sosialisasi antar warganya. Warga yang umumnya produktif dalam hal pertanian dan perguliran uang, seperti perdagangan dan jasa ini, pada kesehariannya mereka menggunakan dua bahasa daerah, yaitu bahasa sunda dan bahasa jawa kasar.
   Masyarakat asli Kampung Sukamahi ini, adalah penutur bahasa jawa asli, namun karena banyaknya warga pendatang dari daerah tatar sunda sehingga menyebabkan adanya integrasi terhadap situasi bahasa dalam sosialisasi kehidupan bermasyarakat di kampung tersebut. Kampung ini memiliki 1200 penduduk yang dengan cirri khas keunikan bahasa satusama lain. Warganya merupakan multibahasa yang memahami dan mengerti lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa sunda, bahasa jawa dan bahasa Indonesia.
   Secara geografis desa pamanukan ini terletak di daerah perbatasan, Indramayu dan Subang sehingga bahasa Jawa (jawa kasar) yang digunakannya pun memiliki keunikan  yang terintegrasi oleh bahasa sunda (sunda kasar). 

B.       Wujud Variasi Kode Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian, kami memperoleh data sebagai berikut;
Variasi bahasa dari segi penutur, warga merupakan bilingualis bahasa daerah yang melahirkan suatu variasi bahasa berupa dialek baru yaitu tuturan bahasa sunda berdisintegrasi dengan dialek bahasa Jawa, yang disebabkan karena pada umumnya warga adalah orang Jawa, maka para pendatang yang menggunakan bahasa sunda pun, dalam kesehariannya mereka dituntut untuk berkomunikasi dalam bahasa jawa, sehingga ketika dalam mereka menggunakan bahasa sunda, terjadi integrasi antara bahasa sunda dengan bahasa jawa. Situasi ini merupakan wujud integrasi kode yang melahirkan varian regional. Sosiolek masyarakat di Kampung Sukamahi ini, terdiri atas golongan penutur bahasa jawa, golongan penutur bahasa sunda dan ada juga golongan penutur yang bisa menggunakan kedua bahasa tersebut yang dipengaruhi oleh faktor perkawinan atau pun perpindahan penduduk. Namun kedua bahasa daerah yang digunakan merupakan ragam bahasa sunda dan jawa kasar. Berikut pemetaan pengguanaan bahasa dalam kehidupan masyarakat Kampung Sukamahi, Pamanukan.
Penduduk asli + penduduk asli                menggunakan bahasa jawa
Penduduk asli + pendatang                     menggunakan bahasa sunda + bahasa ppppppppijawa
Pendatang + pendatang                           menggunakan bahasa jawa   + bahasa ppppppppisunda

C.      Faktor Sosial Budaya yang Menentukan Pemilihan Bahasa
Faktor sosial yang menyebabkan adanya variasi bahasa di Kampung Sukamahi  yaitu dikarena adanya perpindahan penduduk antar kampung, dan perkawinan antar suku yang berbeda. Pemilihan penggunaan bahasa di masyarakat umumnya adalah bahasa jawa karena penduduk asli merupakan penutur asli bahasa jawa yang juga bukan merupakan bahasa jawa murni (jawa kasar).  Akan tetapi bagi penduduk pendatang mereka mampu menggunakan dua bahasa yaitu dalam kehidupan keluarga menggunakan bahasa sunda kasar dengan interferensi dan integrasi dari bahasa jawa, sedangkan dalam sosialisasi masyarakat mereka menggunakan bahasa jawa kasar sebagai bahasa pengantar pergaulan di kampung tersebut.
Berikut bagan penentuan bahasa pergaulan dalam masyarakat;
Penduduk asli + penduduk asli                menggunakan bahasa jawa
      Penduduk asli + pendatang                     menggunakan bahasa jawa
      Pendatang + pendatang                           menggunakan bahasa jawa + bahasa ppppppppppppppppppppppppppppppppisunda +bahasa Indonesia
Selain faktor sosial, terdapat beberapa faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa warga Kampung Sukamahi, yaitu bahasa percakapan tergantung pada bahasa yang digunakan oleh lawan bicara, dan kepada siapa mereka berbicara.

D.      Wujud Alih Kode yang terjadi Sebagai Bentuk Pilihan Bahasa
  Wujud alih kode yang terjadi bersifat situasional, namun dari beberapa responden yang kami jadikan sebagai sumber data, rata-rata mereka melakukan campur kode antara bahasa jawa kasar dengan bahasa sunda ketika penutur ketiga hadir sebagai pengguna bahasa sunda dan terlibat aktif dalam percakapan.
Ketika dua orang penutur asli yang sedang berbincang dalam bahasa jawa kasar, kemudian datanglah seorang dari observer sebagai penutur ketiga dengan menggunakan bahasa sunda yang ikut masuk dan terlibat dalam pembicaraan mereka, maka serta merta mereka mengubah bahasa jawa yang tadinya mereka gunakan menjadi bahasa sunda kasar mengikuti bahasa yang digunakan oleh penutur ketiga, namun dalam pembicaraannya masih terdapat beberapa serpihan bahasa jawa meskipun tidak dominan. Akan tetapi keunikan yang terjadi adalah munculnya variasi bahasa dari segi varian dialek regional yaitu mereka tetap mempertahankan dialek bahasa jawa, meskipun telah beralih kode menggunakan bahasa sunda (bahasa sunda kejawa-jawaan).
Berikut penggalan percakapan penduduk asli dan pendatang dengan menggunakan bahasa jawa kasar.
Satria               : bahasa jawa lengkene contona apa Pa?
Bapak Susilo    : Ya Jawa
Satria               : Ya bahasa Jawa lengkene serupa kaya apa?
Bapak Susilo    : Jawa Indramayu
Satria               : Lengkenena pendatang ora?
Bapak Susilo    : Akeh
Satria               : Lengkene bahasa Jawa Tengah ora Pa?
Bapak Susilo    : Bahasa Jawa Tengan ana mah ana, tapi ngomongna jawa ngeneh. Jawa iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiIndramayu lah biasa.
                                      Bahasa sundane sing seperempat, sing akeh bahasa jawa.
Satria               : Akehlah bahasa jawa ngono?
Bapak Susilo    : Jawane jawa kuol.

Keterangan: kata yang dicetak tebal, terindikasi merupakan wujud pengaruh serpihan bahasa sunda dalam penggunaan bahasa jawa.
E.       Faktor Sosial Budaya yang Menentukan Adanya Alih Kode dan Campur Kode dalam Masyarakat Pamanukan, Subang.  
                        Berdasarkan sejarah, Desa Pamanukan terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan budaya. Sehingga kemajemukan itu melahirkan variasi baru dalam situasi kebahasaan masyarakatnya. Di desa ini terdapat satu Rukun Warga, yaitu Kampung Sukamahi,  yang terdiri dari kurang lebih 1200 jiwa yang di dalamnya memiliki keunikan bahasa karena disebabkan oleh integrasi bahasa pendatang dengan bahasa penduduk asli, sehingga munculah variasi bahasa sunda sebagai bahasa kedua (bahasa yang dibawa oleh pendatang) yang berdialek bahasa jawa (bahasa penduduk asli). Faktor sosial lainnya adalah karena perpindahan penduduk, dan perkawinan antara penduduk asli dengan warga pendatang.
                               


















BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Situasi kebahasaan masyarakat desa Pamanukan ditandai oleh pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Sunda dengan segala variasinya. di samping terdapat pula pemakaian bahasa daerah lain. Kedua bahasa itu menduduki peran masing-masing sehingga menjadikan masyarakat Pamanukan (kota) sebagai masyarakat yang diglosia, yakni masyarakat yang memiliki lebih dari satu bahasa dengan fungsi yang berbeda. Kejelasan pemilihan bahasa pada masyarakat Pamanukan terutama tampak pada bahasa Sunda di satu pihak dan bahasa Jawa dipihak lain. Bahasa Jawa  dan bahasa Sunda dialaek  Pamanukan merupakan salah satu dialek regional yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat bahasa di daerah Sukamahi, desa Pamanukan, kabupaten Subang.
B.       Saran
Penelitian ini menemukan adanya situasi kebahasaan yang mencakup adanya alih kode, dan campur kode  yang terjadi pada ranah keluarga dan ranah pergaulan dalam masyarakat desa Pamanukan, sehingga menyebabkan adanya pergeseran bahasa Jawa yang merupakan bahasa asli penutur di desa tersebut. Namun, sejauh mana dan bagaimana wujud pergeseran Bahasa Sunda dalam masyarakat Pamanukan  belum diungkap dalam penelitian ini. Untuk itu, diperlukan penelitian lanjut agar dapat diketahui secara jelas dan mendalam permasalahan pergeseran Bahasa Jawa dalam masyarakat Pamanukan. Penelitian seperti itu sangat bermakna dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Untuk mencegah kekhawatiran adanya pergeseran dan kepunahan bahasa-bahasa daerah telah menjadi wacana dalam berbagai kalangan pemerhati bahasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar