BAB II
A.
LANDASAN
TEORI
1. Pengertian
Kode
Istilah
kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan,
sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris,
Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian
regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas
sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar),
varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau
gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan
bahasa lawak)
Kenyataan
seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari
bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas
varian, ragam, gaya, dan register.
2. Alih
Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari
satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia
beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam
masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan
satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung
fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa
karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
alih kode ekstern
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan
alih kode adalah:
1. Penutur
seorang
penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu
tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau
sebaliknya.
2.
Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang
kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian
dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode
berupa alih bahasa.
3.
Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan
menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur
beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4.
Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik
merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok
pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan
gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan
dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5.
Untuk membangkitkan rasa humor
Hal ini biasanya dilakukan dengan
alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6.
Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan
bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih
kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan
cenderung tidak komunikatif.
3. Campur
Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan
unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur,
seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung
satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic
convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: Campur kode ke dalam
(innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya, dan Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya, dan Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu
1.
sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
2.
Kebahasaan (linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada
alasan
identifikasi
peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa
wujud campur kode,
a.
penyisipan kata,
b.
menyisipan frasa,
c.
penyisipan klausa,
d.
penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e.
penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
4. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur
Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
B.
METODOLOGI
PENELITIAN
Sumber data
penelitian ini adalah masyarakat di desa Pamanukan Kabupaten Subang. Pemilihan
lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan situasi kebahasaan di
wilayah tersebut dengan khazanah bahasa Jawa yang memiliki karaktersitik yang
khas. Fokus kajian diarahkan pada kampung Sukamahi dengan pertimbangan adanya
asumsi masyarakat Pamanukan sendiri bahwa kampong Sukamahi dipandang sebagai daerah
yang memiliki variasi bahasa tersendiri dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Data
penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa
tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data sekunder adalah data yang berupa
informasi atau keterangan tentang latar sosial, budaya, dan situasional yang
menjadi faktor penentu terjadinya peristiwa tutur di dalam berbagai ranah
sosial. Data pertama dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan
wawancara. Metode pertama dilakukan dengan teknik simak, Metode kedua dilakukan
melalui wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (indept interview)
. Kedua metode itu digunakan alat bantu rekam dan catat dengan menggunakan
catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis
kontekstual.
BAB IV
A.
KESIMPULAN
Situasi kebahasaan masyarakat desa Pamanukan ditandai oleh pemakaian
bahasa Jawa dan bahasa Sunda dengan segala variasinya. di samping terdapat pula
pemakaian bahasa daerah lain. Kedua bahasa itu menduduki peran masing-masing
sehingga menjadikan masyarakat Pamanukan (kota) sebagai masyarakat yang
diglosia, yakni masyarakat yang memiliki lebih dari satu bahasa dengan fungsi
yang berbeda. Kejelasan pemilihan bahasa pada masyarakat Pamanukan terutama
tampak pada bahasa Sunda di satu pihak dan bahasa Jawa dipihak lain. Bahasa
Jawa dan bahasa Sunda dialaek Pamanukan merupakan salah satu dialek regional
yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat bahasa di daerah Sukamahi, desa
Pamanukan , kabupaten Subang.
B.
SARAN
Penelitian
ini menemukan adanya situasi kebahasaan yang mencakup adanya alih kode, dan
campur kode yang terjadi pada ranah
keluarga dan ranah pergaulan dalam masyarakat desa Pamanukan, sehingga
menyebabkan adanya pergeseran bahasa Jawa yang merupakan bahasa asli penutur di
desa tersebut. Namun, sejauh mana dan bagaimana wujud pergeseran Bahasa Sunda
dalam masyarakat Pamanukan belum
diungkap dalam penelitian ini. Untuk itu, diperlukan penelitian lanjut agar
dapat diketahui secara jelas dan mendalam permasalahan pergeseran Bahasa Jawa dalam
masyarakat Pamanukan. Penelitian seperti itu sangat bermakna dalam upaya
pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Untuk mencegah kekhawatiran adanya
pergeseran dan kepunahan bahasa-bahasa daerah telah menjadi wacana dalam
berbagai kalangan pemerhati bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar