Cari Blog Ini

Rabu, 15 Mei 2013

KODE, ALIH KODE, dan CAMPUR KODE


BAB II
A.    LANDASAN TEORI

1.      Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.

2.      Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu alih kode ekstern
bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1.  Penutur
seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
Hal ini biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
3.      Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya, dan Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type) latar belakang sikap penutur
2. Kebahasaan (linguistik type) latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan
identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan  penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Beberapa wujud campur kode,
a. penyisipan kata,
b. menyisipan frasa,
c. penyisipan klausa,
d. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
e. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

4.       Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode

Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.



B.     METODOLOGI PENELITIAN
Sumber data penelitian ini adalah masyarakat di desa Pamanukan Kabupaten Subang. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan situasi kebahasaan di wilayah tersebut dengan khazanah bahasa Jawa yang memiliki karaktersitik yang khas. Fokus kajian diarahkan pada kampung Sukamahi dengan pertimbangan adanya asumsi masyarakat Pamanukan sendiri bahwa kampong Sukamahi dipandang sebagai daerah yang memiliki variasi bahasa tersendiri dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Data penelitian ini dikelompokkan atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data sekunder adalah data yang berupa informasi atau keterangan tentang latar sosial, budaya, dan situasional yang menjadi faktor penentu terjadinya peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data pertama dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara. Metode pertama dilakukan dengan teknik simak, Metode kedua dilakukan melalui wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (indept interview) . Kedua metode itu digunakan alat bantu rekam dan catat dengan menggunakan catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kontekstual.

BAB IV
A.    KESIMPULAN
Situasi kebahasaan masyarakat desa Pamanukan ditandai oleh pemakaian bahasa Jawa dan bahasa Sunda dengan segala variasinya. di samping terdapat pula pemakaian bahasa daerah lain. Kedua bahasa itu menduduki peran masing-masing sehingga menjadikan masyarakat Pamanukan (kota) sebagai masyarakat yang diglosia, yakni masyarakat yang memiliki lebih dari satu bahasa dengan fungsi yang berbeda. Kejelasan pemilihan bahasa pada masyarakat Pamanukan terutama tampak pada bahasa Sunda di satu pihak dan bahasa Jawa dipihak lain. Bahasa Jawa  dan bahasa Sunda dialaek  Pamanukan merupakan salah satu dialek regional yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat bahasa di daerah Sukamahi, desa Pamanukan , kabupaten Subang.
B.     SARAN
Penelitian ini menemukan adanya situasi kebahasaan yang mencakup adanya alih kode, dan campur kode  yang terjadi pada ranah keluarga dan ranah pergaulan dalam masyarakat desa Pamanukan, sehingga menyebabkan adanya pergeseran bahasa Jawa yang merupakan bahasa asli penutur di desa tersebut. Namun, sejauh mana dan bagaimana wujud pergeseran Bahasa Sunda dalam masyarakat Pamanukan  belum diungkap dalam penelitian ini. Untuk itu, diperlukan penelitian lanjut agar dapat diketahui secara jelas dan mendalam permasalahan pergeseran Bahasa Jawa dalam masyarakat Pamanukan. Penelitian seperti itu sangat bermakna dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Untuk mencegah kekhawatiran adanya pergeseran dan kepunahan bahasa-bahasa daerah telah menjadi wacana dalam berbagai kalangan pemerhati bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar