Cari Blog Ini

Rabu, 15 Mei 2013

Sastra Nusantara


TRANSFORMASI TEKS SASTRA KLASIK “ LEGENDA SANGKURIANG” SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN
Oleh Nurul Hikmah

A.    Pendahuluan
Sastra memang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Bukan hanya unsur estetis, filosofis, imajinasi dan emosionalnya yang memberi asupan vitamin batin manusia, tetapi sastra juga mampu menjadi media rekaman sekaligus rujukan literatur yang patut diperhitungkan dalam upaya penelisikan sejarah umat manusia.
Sastra Indonesia klasik tidak diketahui kapan munculnya. Yang dapat dikatakan adalah bahwa Sastra Indonesia Klasik muncul bersamaan dengan dimulainya peradaban bangsa Indonesia, sementara kapan bangsa Indonesia itu ada juga masih menjadi perdebatan. Yang tidak disepakati oleh para ahli adalah kapan sejarah sastra Indonesia memasuki masa baru. Ada yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Klasik berakhir pada masa kebangkitan nasional (1908), masa Balai Pustaka (1920), masa munculnya Bahasa Indonesia (1928), ada pula yang berpendapat bahwa Sastra Indonesia Klasik berakhir pada masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (1800-an).
Budaya Indonesia memang sangat beragam dan hal itu akan tampak dalam khazanah sastra Indonesia yang terwujud dalam sastra-sastra daerah di seluruh nusantara. Keanekaragaman budaya yang tercermin dalam karya sastra itu hanya dapat dipahami secara nasional apabila menggunakan bahasa nasional pula. Oleh sebab itu, transformasi sastra dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia merupakan suatu keharusan. Hal ini, agar siswa pada setiap jenjang sekolah telah sangat mengenal cerita rakyat daerah yang sudah menasional, seperti Sangkuriang, yang bersumber dari cerita rakyat daerah Sunda.
Yang jadi permasalahan sekarang yang jadi permasalahan, apakah Cerita rakyat yang beredar bermanfaat bagi pendidikan?

B.     Pembahasan
Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Menurut Djames Danandjaja, di antara ciri-ciri cerita rakyat, antara lain:
  • Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
  • Bersifat tradisional, yakni hidup dalam suatu kebudayaan dalam waktu tidak kurang dari dua generasi.
  • Bersifat lisan, sehingga terwujud dalam berbagai versi.
  • Bersifat anonim, yakni nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Maka, ia menjadi milik bersama dalam masyarakatnya.
  • Mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakatnya, misalnya sebagai media pendidikan, pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan sebagainya.
  • Bersifat pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika ilmu pengetahuan, misalnya seorang tokoh adalah keturunan dewa atau proses kelahirannya tidak wajar seperti Karna dalam epos Mahabharata yang dilahirkan melalui kuping ibunya.
  • Pada umumnya bersifat sederhana dan seadanya, terlalu spontan dan kadang kala kelihatan kasar, seperti yang terlihat pada anekdot dan sebagian cerita jenaka. Namun dalam perkembangannya, sebagian cerita rakyat telah disusun dalam bentuk bahasa yang lebih teratur dan halus.
Pada umumnya, cerita-cerita rakyat mengisahkan tentang terjadinya berbagai hal, seperti terjadinya alam semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh pembawa kebudayaan, makanan pokok (seperti padi, jagung, sagu, dsb.), asal-mula nama suatu daerah atau tempat, tarian, upacara, binatang tertentu, dan lain-lain. Adapun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam berbagai wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan seperti manusia.

Cerita rakyat sangat digemari oleh warga masyarakat karena dapat dijadikan sebagai suri teladan dan pelipur lara, serta bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum tersedianya pendidikan secara formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi dan peranan yang amat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk mendidik anak dalam keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah tersedia, namun cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama dalam membina kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam keluarga.
Saat ini, cerita-cerita rakyat tidak hanya merupakan cerita yang dikisahkan secara lisan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi berikutnya, akan tetapi telah banyak dipublikasikan secara tertulis melalui berbagai media. Peranan para tukang cerita sebagian besar telah diambil alih oleh media cetak maupun elektronik. Meskipun demikian, ciri-ciri kelisanannya tetap melekat padanya. Media cetak dan elektronik hanya merupakan alat penyebar dan pelestari cerita rakyat tersebut.
Cerita rakyat adalah karya sastra klasik yang harus diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Penyampaian materi sastra dalam mata pelajaran tersebut sangat bermanfaat, terutama dalam meningkatkan cipta dan rasa serta pengalaman budaya siswa. Manfaat itu relevan pula dengan salah satu tujuan dan fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia seperti yang tertera dalam Kurikulum 2004, yaitu sebagai sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia.
Cerita rakyat Sangkuriang merupakan hasil sastra lisan yang berbentuk naratif. Sastra lisan bersifat didaktif yaitu mengandung unsur pengajaran dan pendidikan moral kepada masyarakat tradisi.Cerita-cerita lisan ini terselip nasihat, pengajaran, teladan, yang sangat berguna sebagai panduan ke arah kesejahteraan hidup masyarakat. Misalnya anak-anak dinasihati agar tidak mengamalkan sifat tamak, takabur, sombong dan congkak seperti mana yang terdapat pada sifat-sifat tokoh tertentu dalam cerita atau legenda. Melalui cerita rakyat  seperti “Sangkuriang”, siswa dididik agar tidak durhaka kepada kedua orang tua karena anak yang durhaka tidak akan selamat hidup di dunia dan akhirat. Begitu juga dalam cerita-cerita roman,ditonjolkan sifat kesetiaan kepada pemimpin, sikap dan amalan gotong-royong,kerjasama dan tolong menolong yang banyak membawa manfaat dan keberkatan terutama dalam mengujudkan sebuah masyarakat yang harmoni dan sejahtera. 
Implementasi transformasi cerita rakyat Sangkuriang bisa kita lihat pada SK-KD kelas X semester 2 pada pembelajaran mendengarkan.
Mendengarkan
Memahami cerita rakyat yang dituturkan 




1.      Menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau melalui rekaman  
2.      Menjelaskan hal-hal yang menarik tentang latar cerita rakyat yang disampaikan secara langsung dan atau  melalui rekaman 
Dalam proses pembelajarannya, guru dituntut kreatif dan menyenangkan, agar materi Cerita Rakyat menjadi materi yang tidak membosankan dan tujuan pembelajaranpun tercapai. Metode yang digunakan pun haruslah semenarik mungkin, agar daya tarik siswa terhadap sastra klasik semakin besar.
(Legenda Rakyat Minangkabau, diceritakan kembali oleh “Bunda Naila”)
Nilai yang terkandung pada cerita tersebut banyak mengandung pendidikan moral dimana kita meski menghormati orang tua dan tidak sombong akan kehidupan. Banyak pula cerita-cerita rakyat yang hanya bermuatkan dongeng dan kearifan. Contohnya di Jawa Barat legenda Sangkuriang sebagai berikut.
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi. Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing. Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
           

Penutup
Bisa di lihat jika nilai dari pendidikan dalam cerita ini banyak mengandung muatan mitologi dan cerita saja. Cerita rakyat memang tidak terlalu berpengaruh pada pendidikan formal namun sangat membantu masyarakat di dalam segi pendidikan moral. Disamping itu cerita-cerita rakyat hanya bisa sebagai pendekatan kebudayaan karena terlahir dari kearifan masyarakat itu sendiri.
Para orang tua selalu menjadikan kisah Sangkuriang sebagai pilihan pertama saat bercerita kepada anak-anak mereka. Legenda Sangkuriang seolah tak lekang oleh waktu. Dari generasi ke generasi kisahnya dihidupkan, diberi beragam tafsir dan persepsi, serta penambahan “bumbu” agar lebih menarik. Para orang tua seperti tak bosan-bosan menceritakan kisah kasih tak sampai seorang anakkepada ibunya itu.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2004). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA).  Jakarta: Depdiknas.
Ibnu Thalab, Muhtar. (2009). Sangkuriang dalam Legenda . [Online]. Tersedia:
Sumiyadi. (2008). Sastra Pendidikan dan Pendidikan Sastra. [Online]. Tersedia: http://xpresisastra.blogspot.com/2008/06/sastra-pendidikan-dan-pendidikan-sastra.html [4 November 2010]
Suyoto, Agustinus. (2007). Sastra Melayu Klasik Sastra Indonesia Lama. [Online]. Tersedia: http://oyoth.multiply.com/journal/item/5 [4 November 2010]
Sulton, Agus. (2010). Forum Sastra Jombang. [Online]. Tersedia:http://forumsastrajombang.blogspot.com/










Tidak ada komentar:

Posting Komentar