DUA
Semenjak peristiwa
malam itu, aku tak pernah lagi menyapa ibu, atau hanya sekedar basa-basi. Yang
ada kini hanyalah kebencian yang semakin hari semakin memuncak. Sampai hari
pernikahan itu tiba, ibu tak jua mau mengubah keputusannya. Sejak saat itu,
penilaianku terhadap ibu berubah. Aku menganggap ibu adalah sosok yang egois.
Dia membuat keputusan hanya untuk dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan
keinginan anaknya. Aku khususnya. Aku tidak mau melibatkan Rayhan dalam masalah
ini. Karena aku tahu Rayhan pasti akan senang sekali bahwa om Faisal akan
menjadi ayah bagi dirinya. Namun suatu saat dia akan mengerti. Hanya waktu saja
yang belum tepat untuk dia mengerti,
bahwa kami tidak butuh materi yang berlimpah, kami hanya ingin kasih sayang ibu yang utuh yang ibu berikan hanya untuk kami. Dengan adanya om Faisal di rumah kami, aku merasa perhatian ibu semakin berkurang. Dan aku semakin bosan berada di rumah.
bahwa kami tidak butuh materi yang berlimpah, kami hanya ingin kasih sayang ibu yang utuh yang ibu berikan hanya untuk kami. Dengan adanya om Faisal di rumah kami, aku merasa perhatian ibu semakin berkurang. Dan aku semakin bosan berada di rumah.
Sampailah
pada puncak perlawananku, akupun nekad meninggalkan rumah. Aku merasa kini
rumah bukan lagi tempat yang nyaman seperti dulu. Ketika aku berada di sana,
aku merasa seperti orang asing. Tak ada yang peduli. Tak ada lagi tempat
untukku bersandar. Tak ada lagi penopang ketika aku terpuruk seperti ini.
Semuanya berubah semenjak om Faisal
hadir terlalu jauh dalam kehidupan kami.
Dengan
membawa tas ransel kesayanganku yang biasanya aku pakai untuk berkemah, dan
bermodalkan uang yang jumlahnya tidak mencapai satu juta, ya sekitar tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah sisa tabunganku selama duduk dibangku sekoalah,
aku pun membulatkan tekadku untuk angkat kaki dari rumah. Toh ibu dan Rayhan
juga tak kan peduli dengan kepergianku, meskipun pada awalnya mereka akan
khawatir, tapi pada akhirnya mereka akan lebih memilih om Faisal daripada aku.
Begitulah pikiranku saat itu. Pikiran yang sangat kekanak-kanakan. Namun pada
saat itu aku berfikir itu adalah suatu kebenaran.
Akupun
keluar rumah pada saat orang rumah sedang terlelap. Dengan barang-barang yang
telah kupersiapkan sebelumnya. Tak ada sepucuk surat perpisahan yang kutulis
dan kutinggalkan untuk ibu dan Rayhan, adikku Aku pun menaiki bus yang
bertujuan ke Bandung. Entah apa yang membuat Bandung jadi tujuanku. Tapi yang
pasti tekadku utuk meningglkan rumah tak tergoyahkan lagi.
Tepat, ketika aku meninggalkan rumah, usiaku sudah 18 tahun. Itu artinya aku sudah lulus Sekolah Menengah Atas alias SMA. Dan aku tidak perlu was-was untuk menempuh perjalanan jauh. Karena aku sudah memiliki KTP. Bagiku memiliki kartu identitas yang satu ini, adalah sebuah kebanggaaan, karena dengan memilikinya berarti kamu sudah dianggap dewasa oleh orang lain. Ketika orang bertanya akan asal usulku, aku cukup mengeluarkan KTP dan mereka cukup tahu kedatanganku ini hanya untuk mencari pekerjaan. Dan aku anggap selesai.
Tepat, ketika aku meninggalkan rumah, usiaku sudah 18 tahun. Itu artinya aku sudah lulus Sekolah Menengah Atas alias SMA. Dan aku tidak perlu was-was untuk menempuh perjalanan jauh. Karena aku sudah memiliki KTP. Bagiku memiliki kartu identitas yang satu ini, adalah sebuah kebanggaaan, karena dengan memilikinya berarti kamu sudah dianggap dewasa oleh orang lain. Ketika orang bertanya akan asal usulku, aku cukup mengeluarkan KTP dan mereka cukup tahu kedatanganku ini hanya untuk mencari pekerjaan. Dan aku anggap selesai.
Aku
pikir aku sudah berhak untuk menentukan masa depanku. Rencanaku saat itu,
pertama aku akan mencari tempat tinggal, kemudian aku akan mencari pekerjaan terlebih dahulu, sedangkan rencana kuliah
kusimpan dulu untuk sementara sampai uang tabunganku cukup untuk
menghantarkanku ke bangku kuliah.
Aku ingin membuktikan
kepada ibu, aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk om Faisal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar