Cari Blog Ini

Selasa, 14 Mei 2013

BAG.2


DUA
Semenjak peristiwa malam itu, aku tak pernah lagi menyapa ibu, atau hanya sekedar basa-basi. Yang ada kini hanyalah kebencian yang semakin hari semakin memuncak. Sampai hari pernikahan itu tiba, ibu tak jua mau mengubah keputusannya. Sejak saat itu, penilaianku terhadap ibu berubah. Aku menganggap ibu adalah sosok yang egois. Dia membuat keputusan hanya untuk dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan keinginan anaknya. Aku khususnya. Aku tidak mau melibatkan Rayhan dalam masalah ini. Karena aku tahu Rayhan pasti akan senang sekali bahwa om Faisal akan menjadi ayah bagi dirinya. Namun suatu saat dia akan mengerti. Hanya waktu saja yang belum tepat untuk dia mengerti,
bahwa kami tidak butuh materi yang berlimpah, kami hanya ingin kasih sayang ibu yang utuh yang ibu berikan hanya untuk kami. Dengan adanya om Faisal di rumah kami, aku merasa perhatian ibu semakin berkurang. Dan aku semakin bosan berada di rumah.
Sampailah pada puncak perlawananku, akupun nekad meninggalkan rumah. Aku merasa kini rumah bukan lagi tempat yang nyaman seperti dulu. Ketika aku berada di sana, aku merasa seperti orang asing. Tak ada yang peduli. Tak ada lagi tempat untukku bersandar. Tak ada lagi penopang ketika aku terpuruk seperti ini. Semuanya berubah  semenjak om Faisal hadir terlalu jauh dalam kehidupan kami.
Dengan membawa tas ransel kesayanganku yang biasanya aku pakai untuk berkemah, dan bermodalkan uang yang jumlahnya tidak mencapai satu juta, ya sekitar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sisa tabunganku selama duduk dibangku sekoalah, aku pun membulatkan tekadku untuk angkat kaki dari rumah. Toh ibu dan Rayhan juga tak kan peduli dengan kepergianku, meskipun pada awalnya mereka akan khawatir, tapi pada akhirnya mereka akan lebih memilih om Faisal daripada aku. Begitulah pikiranku saat itu. Pikiran yang sangat kekanak-kanakan. Namun pada saat itu aku berfikir itu adalah suatu kebenaran.
Akupun keluar rumah pada saat orang rumah sedang terlelap. Dengan barang-barang yang telah kupersiapkan sebelumnya. Tak ada sepucuk surat perpisahan yang kutulis dan kutinggalkan untuk ibu dan Rayhan, adikku Aku pun menaiki bus yang bertujuan ke Bandung. Entah apa yang membuat Bandung jadi tujuanku. Tapi yang pasti tekadku utuk meningglkan rumah tak tergoyahkan lagi.
Tepat, ketika aku meninggalkan rumah, usiaku sudah 18 tahun. Itu artinya aku sudah lulus Sekolah Menengah Atas alias SMA. Dan aku tidak perlu was-was untuk menempuh perjalanan jauh. Karena aku sudah memiliki KTP. Bagiku memiliki kartu identitas yang satu ini, adalah sebuah kebanggaaan, karena dengan memilikinya berarti kamu sudah dianggap dewasa oleh orang lain. Ketika orang bertanya akan asal usulku, aku cukup mengeluarkan KTP dan mereka cukup tahu kedatanganku ini hanya untuk mencari pekerjaan. Dan aku anggap selesai.
Aku pikir aku sudah berhak untuk menentukan masa depanku. Rencanaku saat itu, pertama aku akan mencari tempat tinggal, kemudian aku akan mencari pekerjaan  terlebih dahulu, sedangkan rencana kuliah kusimpan dulu untuk sementara sampai uang tabunganku cukup untuk menghantarkanku ke bangku kuliah.
Aku ingin membuktikan kepada ibu, aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk om Faisal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar