BAB 2
PEMBAHASAN
Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ
yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat
menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan
dan ciri masyarakat masing-masing. Sehingga hal tersebut
memunculkan keanekaragaman bentuk musyawarah yang dilaksanakan oleh berbagai
Negara di dunia meskipun mayoritas masyarakat negara-negara tersebut beragama
islam. Berikut ini akan dipaparkan berbagai bentuk musyawarah yang terdapat dalam
beberapa Negara yang mayoritas masyarakatnya beragama islam khusunya musyawarah
yang dilakukan dalam pemerintahan. Adapun Negara-negara tersebut diantaranya
Negara arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, Iran serta Indonesia.
2.1 Bentuk Musyawarah Negara Arab
Saudi
Bentuk pemerintahan Arab Saudi
adalah monarki absolut. Adapun yang dimaksud dengan bentuk pemerintahan monarki
absolut adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh
seorang (raja, ratu, syah, atau kaisar) yang kekuasaan dan wewenangnya tidak
terbatas. Perintah raja merupakan hukum dan undang-undang yang harus dipatuhi
dan dilaksanakan oleh rakyatnya. Pada diri raja terdapat kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang menyatu dalam ucapan dan perbuatannya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa bentuk pemerintahan ini memeliki beberapa keunggulan, akan
tetapi bentuk pemerintahan yang dianut Arab saudi ini juga
memiliki kelemahan, yakni diterapkannya monarki absolut (sistem kerajaan), akan
mengikis nilai-nilai demokrasidi Negara tersebut. bahkan Negara akrab menganggap bahwa demokrasi
tidak sesuai dengan syariat Islam, padahal apabia kita kaji lebih dalam
sesungguhnya Nabi Muhamad juga tidak pernah mewariskan kekuasaan pada anak cucunya.
Sehingga sistem kerajaanpun sebenarnya tidak sesuai syariat yang dibawa Nabi,
karena sesungguhnya dalam diskursus politik Islam hanya
dikenal konsep syura (musyawarah) sebagai lembaga yang sekarang ini dinamakan
lembaga perwakilan. Dalam diskursus politik Islam, justru prinsip-prinsip
seperti (keadilan), musawah (kesetaraan), dan tasamuh (toleransi) mendapatkan
penekanan yang serius.
2.2 Bentuk Musyawarah Negara
Malaysia
Negara
Malaysia menganut system
pemerintahan Monarki parlementer. Adapun yang dimaksud dengan monarki
parlementer adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh
seorang raja dengan menempatkan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Jatuh tegaknya pemerintah bergantung pada kepercayaan parlemen kepada para
menteri. Dalam monarki parlementer, kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet
(perdana menteri) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Fungsi raja hanya
sebagai kepala negara (simbol kekuasaan) yang kedudukannya tidak dapat diganggu
gugat. Raja tidak memegang pemerintahan secara nyata, tetapi para menteri yang
bertanggung jawab atas nama dewan maupun sendiri-sendiri, sesuai tugas
masing-masing.
Hanya saja dalam prakteknya terdapat
penyimpangan yang dilakukan oleh raja beserta dengan keluarganya, yang mana
mereka merasa seolah-olah manjadi penguasa yang bolah malakukan apa saja.
Selain itu semua keputusan yang dibuat oleh pimpinan negara walaupun prakteknya
adalah Musyawarah, hanya saja bentuk musyawarahnya itu seperti musyawarah ala
DPR/MPR masa Orde Baru di Indonesia. Setelah itu hasil dari ‘Musyawarah’ itu
juga tidak boleh dipertanyakan. Di Negara Malaysia, siapa saja yang
mempersoalkan hasil ‘Musyawarah’ ini dapat diklasifikasikan sebagai orang yang
membahayakan keselamatan negara dan dapat ditahan dengan menggunakan ISA atau
Akta Hasutan. Jadi bentuk musyawarah yang dilaksanakan di Negara Malaysia ini
tidak sesuai dengan syariat islam karena tidak adanya keterlibatan
masyarakat didalam urusan yang berkaitan dengan mereka
serta tidak adanya keterbukaan dalam pelaksanaan musyawarah tersebut.
2.3 Bentuk Musyawarah Negara Brunei
Darussalam
2.4 Bentuk Musyawarah Negara Iran
Trias Politica adalah sebuah konsep
pembagian kekuasaan yang digagas oleh John Locke dan Montesquieu. Agar suatu
kestabilan dalam pemerintahan dapat terjaga hendaknya kekuasaan dibagi menjadi
tiga bagian yaitu legislatif (pembuat Undang-Undang), eksekutif (pelaksana
Undang-Undang) dan yudikatif (pengawas pelaksanaan Undang-Undang). Pemisahan
itu dimaksudkan agar tidak terjadi sebuah pemerintahan arogan di bawah seorang
Raja atau pemimpin mirip Raja.
Ada sebuah
kontroversi ketika konsep trias politica diterapkan di Iran. Iran sebagai sebuah Negara Islam
mencoba berkompromi dengan mengadopsi konsep tris politica barat ala mereka
sendiri
Republik
Islam Iran tetap memelihara konsep imamah itu sambil dikompromikan dengan
konsep Negara modern yang mementingkan pembagian kekuasaan (trias politica).
Inilah bedanya Iran dengan Negara Islam yang lain macam Arab Saudi dan berbagai
Negara Arab lainnya.
Di Iran legislative, eksekutif dan
yudikatif tetap ada. Akan tetapi tiga kekuasaan itu tunduk pada kekuasaan
wilayatul faqih atau Imam tertinggi mereka itu (Supreme Leader). Tampuk
Imam tertinggi itu saat ini dipegang oleh Ayatullah Ali Khomaeni. Jadi
disamping kekuasaan sudah dibatasi berdasarkan konsep trias politica, tapi juga
masih dibatasi oleh Imam. Imam tidak berkenan berarti Presiden tidak bisa
bergerak.
Sama seperti Negara lain, legislative
di Iran (Majlis of Iran/Majles-e
Shura-ye Eslami) berperan menyusun Undang-Undang. Eksekutif sebagai
pelaksana Undang-Undang dipegang oleh Presiden, yang saat ini dipegang Mahmoud Ahmadinejad. Sementara
kewenangan yudikative sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan di pegang oleh
Assembly of Experts (Majles-e-Khebregan).
Ayatullah sebagai pemimpin tertinggi
memang berfungsi sebagai pengawas pemerintahan, tapi hal ini dalam prakteknya
dijalankan oleh Assembly of Experts tadi. Ayatullah menjadi semacam pemberi
restu saja karena semua komponen trias politica itu harus berdasarkan
persetujuan Ayatullah
Timbul kesan Ayatullah itu menjadi
superbody alias mempunyai wewenang penuh. Lantas mungkin timbul pertanyaan apa
bedanya Ayatullah dengan Raja. Inilah uniknya Iran. Ayatullah tidak bergerak
sendirian.Dia memimpin sebuah Garda Nasional (National Guardian). Jadi
ayatullah tetap menerapkan konsep musyawarah sebagai pemimpin tertinggi,
meskipun mungkin pada kenyataanya anggota Garda Nasional itu yang berjumlah 12
orang sangat patuh pada Ayatullah. Tapi paling tidak Ayatullah berbeda dengan
raja karena ia tetap menerapkan konsep musywarah.
Iran mencoba mengkompromikan konsep
Negara modern dengan konsep Negara Islam ala mereka. Hasilnya adalah sebuah syitem
unik yang dianut Republik Islam Iran seperti sekarang ini. Jadi Iran tidak bisa
disebut kerajaan karena mereka tidak punya raja dan sistem pemerintahannya
sangat demokratis dengan berlandaskan pada konsep trias politica barat. Namun
Iran juga tidak bisa dikatakan full murni menerapkan demokrasi karena 3
kekuasaan pemerintahan itu ternyata tunduk pada Ayatullah sebagai pemimpin
tertinggi.
2.5
Bentuk Musyawarah Negara Pakistan
2.6
Bentuk Musyawarah Negara Turki
2.7
Bentuk Musyawarah Negara Indonesia
2.2.2
Perbedaan Musyawarah dengan Demokrasi
Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan
pengambilan keputusan terkait dengannya. Pendapat majelius syura sekedar
bersifat konsultatif,karnanya menjadi relative dan tidak mengikat sesui
keinginan penguasa.kewajiban seorang penguasa hanyalah dalam hal melaksanakan
musyawarah, bukan mengambil pendapat mereka. Tanggung jawab terhadap keputusan
yang di ambil pun di pikul penguasa itu sendiri,sedangkan mereka yang di minta
pendapat dalam musyawarah tidak bertanggung jawab sama sekali. Selain itu,
syura tidak mengenal perolehan pendapat mayoritas,seperti di kenal dalam konsep
demokrasi,dan tidak memberikan batas mengenai kwantitas,kwalitas,ruang maupun
waktunya.syura juga tidak mengenal rumusan yang baku.ada kalnya pemimpin
(penguasa)mengambil sebagian pendapat majelis syura,keseluruhan atau satu
pendapat dari sekian banyak penjdapat yang di ketengahkan majelis syura.
Hal-hal ini lah yang menjadi karakteristik inti konsep syura di dunia
islam,yang hampir tidak sedikit pun memiliki ke samaan dengan demokrasi barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar