SATU
Malam itu, tidak
seperti biasanya ibu memanggilku. Kalaupun pernah, pasti ada sesuatu yang
penting.
Pernah
pada suatu hari, aku membuat masalah lagi di sekolah. Waktu itu aku baru
menginjak kelas dua SMP, maklumlah masa-masa remajaku penuh dengan kasus
kenakalan. Sampai-sampai aku harus diskors
untuk kesekian kalinya oleh pihak sekolah. Pada malam harinya aku dipanggil
oleh ibu, kemudian seperti biasa beliau menasehatiku dengan petuah-petuahnya
yang bijak. Petuah-petuah yang sudah berkali-kali aku dengar, namun sering kali
terabaikan. Tak ada nada kemarahan yang terlontar dari bibirnya. Namun dibalik
itu semua, aku bisa melihat dari sorot matanya, ada setitik kekecewaan. Hal ini
terlihat ketika beliau sudah tak mampu lagi menatapku, dan lebih memilih
beranjak ke kamarnya. Meninggalkanku yang kini dihinggapi rasa penyesalan.
Meskipun kejadian ini bukan pertama kalinya, aku membuat masalah, namun hari itu menjadi hari dimana aku benar-benar
merasa bersalah. Karena aku telah menyakiti wanita yang paling ku sayangi. Terlebih
ketika aku melihat butiran bening menggenang di pelupuk matanya. Itulah pertama
kalinya aku membuat beliau menangis. Dan sejak saat itu aku berjanji tak akan
pernah lagi membuatnya kecewa dan menjatuhkan air matanya karena ulahku.
***
Aku
hampiri ibu yang sudah menunggu di ruang tamu. Ku pandangi wajahnya. Tak ada
garis kemarahan ataupun kekecewaan terlihat di raut wajahnya. Yang ku lihat
malah sebaliknya. Raut wajah yang teduh dan senyuman hangatnya menyambut
kehadiranku.
sekali lagi, ku pandangi lekat-lekat wajah ibuku. Kutatap matanya, harapku disana terdapat jawaban atas rasa penasaranku. Namun yang ada hanyalah sorot mata teduh yang keindahannya mulai pudar dimakan usia.
sekali lagi, ku pandangi lekat-lekat wajah ibuku. Kutatap matanya, harapku disana terdapat jawaban atas rasa penasaranku. Namun yang ada hanyalah sorot mata teduh yang keindahannya mulai pudar dimakan usia.
Ternyata
ibu sudah dapat membaca pikiranku, beliau lansung membuka keheningan kala itu
dengan suaranya yang lembut.
“Sita…”
“ya bu..”
“ya bu..”
“duduk
sini, Nak”
Aku
pun duduk lebih dekat di samping ibu.
“Seperti
yang kau ketahui ayahmu sudah lama meninggalkan kita, dan kamu juga tahu kan
bagaimana keadaan kita sekarang?”
Sejenak
ibu menghentikan ucapannya. Ucapan ibu lebih cenderung pada sebuah pernyataan
bukan sebuah pertayaan. Sungguh ambiguitas. Tanpa menunggu jawabanku ibu
langsung melanjutkan ucapannya,
“Ibu sangat mencintai ayahmu. Cinta ibu padanya tak akan pernah pudar dimakan waktu. Tapi disisi lain ibu juga sangat mencintai kalian”.
“Ibu sangat mencintai ayahmu. Cinta ibu padanya tak akan pernah pudar dimakan waktu. Tapi disisi lain ibu juga sangat mencintai kalian”.
Ucapan
ibu kali ini membuatku semakin tak mengerti arah pembicaraannya. Kulihat raut
wajah ibu mulai berubah. Air wajah yang tadinya terlihat tenang, kini berubah
menjadi gundah dan ada keraguan tersirat dari sorot matanya.
“Sita,
tadi keluarga Om Faisal datang ke sini.”
Om
Faisal adalah teman terbaik ayah semasa hidupnya. Dan semenjak ayah meninggal
beliau bak pahlawan bagi keluarga kami. Karena dengan belas kasih dan kebaikan
beliaulah kami bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dan dengan uangnya juga aku
dan adikku, Rayhan bisa terus melanjutkan pendidikan sampai saat ini.
Sepengetahuanku beliau adalah seorang duda
yang tak memiliki anak. Istrinya meninggal karena penyakit kanker yang
terus menggerogotinya. Hal yang paling
kusuka dari beliau adalah kesetiaanya pada sang istri, karena sampai
saat ini beliau tak kunjung menikah lagi. Om Faisal memang laki-laki yang baik.
Rayhan adikku yang baru berusia sepuluh
tahun adalah salah satu fans om Faisal. Kedatangannya ke rumah kami selalu
melukiskan senyum di wajah lugu Rayhan. Mungkin karena Rayhan merindukan sosok
ayah yang tak pernah ia rasakan. Karena ketika ayah meninggal Rayhan masih
dalam kandungan ibu. Jadi wajar saja ketika om Faisal hadir dalam kehidupan
kami, bak pahlawan, menawarkan kasih sayang dan kebaikan kepada keluarga kami, seolah
menyembuhkan kerinduan Rayhan akan sosok seorang ayah. Kehadirannya di keluarga
kami seperti magnet, dengan cepat ia bisa menarik simpatik Rayhan dan ibu
khususnya. Tapi tidak dengan aku. Kebaikannya terhadap keluarga kami, aku
anggap sebagai usahanya menggantikan posisi almarhum ayah. Bagiku tidak ada
orang yang pantas mengambil posisi ayah di keluarga kami. Terutama di hatiku.
Meskipun itu adalah om Faisal, yang notabenenya teman baik ayah. aku tidak akan
pernah membiarkan hal itu terjadi sampai kapanpun. Mungkin hipotesisku terhadap
om Faisal terbilang buruk, hal ini karena ketakutanku akan posisi ayah yang
mulai tergantikan di hati ibu dan Rayhan. Mudah-mudahan ketakutan ini hanya
perasaanku saja.
Ibu bilang tadi keluarga om Faisal datang kesini, jangan-jangan...tiba-tiba pikiranku mencoba tuk menepis pikiran itu aku masih belum yakin, lalu ku dengarkan kembali penjelasn ibu.
Ibu bilang tadi keluarga om Faisal datang kesini, jangan-jangan...tiba-tiba pikiranku mencoba tuk menepis pikiran itu aku masih belum yakin, lalu ku dengarkan kembali penjelasn ibu.
Kemudian
beliau melanjutkan ucapannya. Dengan penuh basa-basi dan berputar-putrar
layaknya pantun harus ada sampiran sebelum ke isi, membuatku sulit untuk
mencerna perkataanya. Setelah lama beliau menjelaskan, akhirnya barulah aku
bisa menangkap arah pembicaraan ibu, segera ku potong pembicaraanya, karena aku
sudah muak dengan basa-basi ibu yang terlalu berbelit-belit.
“Kedatangan
keluarga om Faisal kesini untuk melamar Ibu kan? Dan ibu menerimanaya begitu
saja, tanpa memberitahu terlebih dahulu pada kami?”ucapku tegas.
Itulah
kali pertama aku keluarkan kata-kata paling egois yang pernah ku lontarkan
kepada Ibu.
Ibuku
kaget ketika nada bicaraku mulai meninggi. Beliau sadar kini ia bukan lagi
berhadapan dengan Sita kecil, tapi ia berhadapan sita yang kini mulai beranjak
dewasa.
“Ya…”
Itulah jawaban Ibu. Tak ada kata lain yang ia lontarkan selain dua fonem itu
Y.A. seakan ia pasrah dengan keputusannya.
Namun
jawaban singkat ibu seakan memperjelas semuanya. tentang anggapan burukku
terhadap om Faisal dan dan ketakutanku akan posisi ayah yang mulai tergantikan.
Ternyata semuanya benar.
Akupun
terdiam. Aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan. Mulutku kelu, namun dadaku
bergetar menahan amarah yang membuncah,
Lalu
ibu memecah suasana malam itu dengan meluncurkan alibi-alibi yang membuatku
semakin tak paham dengan jalan pikiran ibu.
“Ta
ibu tidak akan memaksamu untuk menerima dia sebagai ayahmu, tapi Ibu memohon
pengertianmu akan posisi ibu. Ibu minta
kamu menghargai keputusan Ibu, karena keputusan ini ibu lakukan hanya untuk
kalian.” Ucap ibu lirih.
“Ibu
lakukan semua ini hanya demi kalian.” Sekali lagi ibu berusaha meyakinkanku
akan keputusannya.
Menghargai.
Pengertian. Kata-kata yang membuatku geram setengah mati.
“Justru
keputusan ibu ini yang tak mengenal kata pengertian dan menghargai,” ucapku
dalam hati.
“Apapun
alasan ibu, Sita gak bisa dan gak mau menerimanya. Sita gak mau ada anggota
baru di rumah ini, selain kita!!”
Kalimat
perlawanan mulai meluncur dari mulutku.
Perlawanan yang keluar dari pikiran seorang remaja yang baru mau beranjak dewasa,dan emosi yang masih labil.
mendengar hal itu, ibu hanya bisa menatapku dengan sorot mata yang keteduhannya mulai redup. Butiran-butiran bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi pipinya.
Perlawanan yang keluar dari pikiran seorang remaja yang baru mau beranjak dewasa,dan emosi yang masih labil.
mendengar hal itu, ibu hanya bisa menatapku dengan sorot mata yang keteduhannya mulai redup. Butiran-butiran bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi pipinya.
Inilah
untuk kedua kalinya aku membuat beliau menangis lagi.
“Maaf
bu, aku tak bisa menepati janjiku. Kaulah yang terlebih dahulu membuatku
kecewa.” Lirihku dalam hati.
Akhirnya
perdebatan malam itu harus berakhir. Cukup sudah perlawananku sampai di situ.
Tapi bukan berarti aku setuju dengan pernikahan ibu dan om Faisal yang ternyata
sudah direncanakan tanpa sepengetahuanku. Aku hanya tidak ingin terlalu jauh
melukai hati wanita yang telah melahirkanku itu. Tanpa pamit dan basa-basi, aku
pun beranjak meningglkan ibu menuju kamarku, dan ibu lebih memilih tetap berada
di tempat duduknya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar