Cari Blog Ini

Selasa, 14 Mei 2013

BAG. 1


SATU
Malam itu, tidak seperti biasanya ibu memanggilku. Kalaupun pernah, pasti ada sesuatu yang penting.
Pernah pada suatu hari, aku membuat masalah lagi di sekolah. Waktu itu aku baru menginjak kelas dua SMP, maklumlah masa-masa remajaku penuh dengan kasus kenakalan. Sampai-sampai aku harus diskors untuk kesekian kalinya oleh pihak sekolah. Pada malam harinya aku dipanggil oleh ibu, kemudian seperti biasa beliau menasehatiku dengan petuah-petuahnya yang bijak. Petuah-petuah yang sudah berkali-kali aku dengar, namun sering kali terabaikan. Tak ada nada kemarahan yang terlontar dari bibirnya. Namun dibalik itu semua, aku bisa melihat dari sorot matanya, ada setitik kekecewaan. Hal ini terlihat ketika beliau sudah tak mampu lagi menatapku, dan lebih memilih beranjak ke kamarnya. Meninggalkanku yang kini dihinggapi rasa penyesalan. Meskipun kejadian ini bukan pertama kalinya, aku membuat masalah, namun  hari itu menjadi hari dimana aku benar-benar merasa bersalah. Karena aku telah menyakiti wanita yang paling ku sayangi. Terlebih ketika aku melihat butiran bening menggenang di pelupuk matanya. Itulah pertama kalinya aku membuat beliau menangis. Dan sejak saat itu aku berjanji tak akan pernah lagi membuatnya kecewa dan menjatuhkan air matanya karena ulahku.
***
Aku hampiri ibu yang sudah menunggu di ruang tamu. Ku pandangi wajahnya. Tak ada garis kemarahan ataupun kekecewaan terlihat di raut wajahnya. Yang ku lihat malah sebaliknya. Raut wajah yang teduh dan senyuman hangatnya menyambut kehadiranku.
sekali lagi, ku pandangi lekat-lekat wajah ibuku. Kutatap matanya, harapku disana terdapat jawaban atas rasa penasaranku. Namun yang ada hanyalah sorot mata teduh yang keindahannya mulai pudar dimakan usia.
Ternyata ibu sudah dapat membaca pikiranku, beliau lansung membuka keheningan kala itu dengan suaranya yang lembut.
“Sita…”
“ya bu..”
“duduk sini, Nak”
Aku pun duduk lebih dekat di samping ibu.
“Seperti yang kau ketahui ayahmu sudah lama meninggalkan kita, dan kamu juga tahu kan bagaimana keadaan kita sekarang?”
Sejenak ibu menghentikan ucapannya. Ucapan ibu lebih cenderung pada sebuah pernyataan bukan sebuah pertayaan. Sungguh ambiguitas. Tanpa menunggu jawabanku ibu langsung melanjutkan ucapannya,
“Ibu sangat mencintai ayahmu. Cinta ibu padanya tak akan pernah pudar dimakan waktu. Tapi disisi lain ibu juga sangat mencintai kalian”.
Ucapan ibu kali ini membuatku semakin tak mengerti arah pembicaraannya. Kulihat raut wajah ibu mulai berubah. Air wajah yang tadinya terlihat tenang, kini berubah menjadi gundah dan ada keraguan tersirat dari sorot matanya.
“Sita, tadi keluarga Om Faisal datang ke sini.”
Om Faisal adalah teman terbaik ayah semasa hidupnya. Dan semenjak ayah meninggal beliau bak pahlawan bagi keluarga kami. Karena dengan belas kasih dan kebaikan beliaulah kami bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dan dengan uangnya juga aku dan adikku, Rayhan bisa terus melanjutkan pendidikan sampai saat ini. Sepengetahuanku beliau adalah seorang duda  yang tak memiliki anak. Istrinya meninggal karena penyakit kanker yang terus menggerogotinya. Hal yang paling  kusuka dari beliau adalah kesetiaanya pada sang istri, karena sampai saat ini beliau tak kunjung menikah lagi. Om Faisal memang laki-laki yang baik.  Rayhan adikku yang baru berusia sepuluh tahun adalah salah satu fans om Faisal. Kedatangannya ke rumah kami selalu melukiskan senyum di wajah lugu Rayhan. Mungkin karena Rayhan merindukan sosok ayah yang tak pernah ia rasakan. Karena ketika ayah meninggal Rayhan masih dalam kandungan ibu. Jadi wajar saja ketika om Faisal hadir dalam kehidupan kami, bak pahlawan, menawarkan kasih sayang dan kebaikan kepada keluarga kami, seolah menyembuhkan kerinduan Rayhan akan sosok seorang ayah. Kehadirannya di keluarga kami seperti magnet, dengan cepat ia bisa menarik simpatik Rayhan dan ibu khususnya. Tapi tidak dengan aku. Kebaikannya terhadap keluarga kami, aku anggap sebagai usahanya menggantikan posisi almarhum ayah. Bagiku tidak ada orang yang pantas mengambil posisi ayah di keluarga kami. Terutama di hatiku. Meskipun itu adalah om Faisal, yang notabenenya teman baik ayah. aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi sampai kapanpun. Mungkin hipotesisku terhadap om Faisal terbilang buruk, hal ini karena ketakutanku akan posisi ayah yang mulai tergantikan di hati ibu dan Rayhan. Mudah-mudahan ketakutan ini hanya perasaanku saja.
Ibu bilang tadi keluarga om Faisal datang kesini, jangan-jangan...tiba-tiba pikiranku mencoba tuk menepis pikiran itu aku masih belum yakin, lalu ku dengarkan kembali penjelasn ibu.
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya. Dengan penuh basa-basi dan berputar-putrar layaknya pantun harus ada sampiran sebelum ke isi, membuatku sulit untuk mencerna perkataanya. Setelah lama beliau menjelaskan, akhirnya barulah aku bisa menangkap arah pembicaraan ibu, segera ku potong pembicaraanya, karena aku sudah muak dengan basa-basi ibu yang terlalu berbelit-belit.
“Kedatangan keluarga om Faisal kesini untuk melamar Ibu kan? Dan ibu menerimanaya begitu saja, tanpa memberitahu terlebih dahulu pada kami?”ucapku tegas.
Itulah kali pertama aku keluarkan kata-kata paling egois yang pernah ku lontarkan kepada Ibu.
Ibuku kaget ketika nada bicaraku mulai meninggi. Beliau sadar kini ia bukan lagi berhadapan dengan Sita kecil, tapi ia berhadapan sita yang kini mulai beranjak dewasa.
“Ya…” Itulah jawaban Ibu. Tak ada kata lain yang ia lontarkan selain dua fonem itu Y.A. seakan ia pasrah dengan keputusannya.
Namun jawaban singkat ibu seakan memperjelas semuanya. tentang anggapan burukku terhadap om Faisal dan dan ketakutanku akan posisi ayah yang mulai tergantikan. Ternyata semuanya benar.
Akupun terdiam. Aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan. Mulutku kelu, namun dadaku bergetar menahan amarah yang membuncah,
Lalu ibu memecah suasana malam itu dengan meluncurkan alibi-alibi yang membuatku semakin tak paham dengan jalan pikiran ibu.
“Ta ibu tidak akan memaksamu untuk menerima dia sebagai ayahmu, tapi Ibu memohon pengertianmu akan posisi ibu.  Ibu minta kamu menghargai keputusan Ibu, karena keputusan ini ibu lakukan hanya untuk kalian.” Ucap ibu lirih.
“Ibu lakukan semua ini hanya demi kalian.” Sekali lagi ibu berusaha meyakinkanku akan keputusannya.
Menghargai. Pengertian. Kata-kata yang membuatku geram setengah mati.
“Justru keputusan ibu ini yang tak mengenal kata pengertian dan menghargai,” ucapku dalam hati.
“Apapun alasan ibu, Sita gak bisa dan gak mau menerimanya. Sita gak mau ada anggota baru di rumah ini, selain kita!!”
Kalimat perlawanan mulai meluncur dari mulutku.
Perlawanan yang keluar dari pikiran seorang remaja yang baru mau beranjak dewasa,dan emosi yang masih labil.
mendengar hal itu, ibu hanya bisa menatapku dengan sorot mata yang keteduhannya mulai redup. Butiran-butiran bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi pipinya.
Inilah untuk kedua kalinya aku membuat beliau menangis lagi.
“Maaf bu, aku tak bisa menepati janjiku. Kaulah yang terlebih dahulu membuatku kecewa.” Lirihku dalam hati.
Akhirnya perdebatan malam itu harus berakhir. Cukup sudah perlawananku sampai di situ. Tapi bukan berarti aku setuju dengan pernikahan ibu dan om Faisal yang ternyata sudah direncanakan tanpa sepengetahuanku. Aku hanya tidak ingin terlalu jauh melukai hati wanita yang telah melahirkanku itu. Tanpa pamit dan basa-basi, aku pun beranjak meningglkan ibu menuju kamarku, dan ibu lebih memilih tetap berada di tempat duduknya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar