Prolog
Lembayung senja sore ini, mengingatkanku akan
kenangan masa lalu yang ku sesali. Membangkitkan kerinduanku akan kehangatan
kasih seorang ibu yang kini entah di mana.
Andai aku dapat memutar waktu, aku ingin
kembali padamu ibu. Kini, aku telah tumbuh menjadi seseorang yang mungkin dapat
engkau banggakan. Namun, semua itu tak menghilangkan hausku akan kasih sayangmu.
Kesunyian hidup seakan telah berkawan
denganku. Sejuta salah membuat diri ini semakin terbelenggu. Zahratus
Syita, hadiah terindah berupa nama Islam
yang ibu sematkan, sebagai doa untukku. Namun kini hadiah itu telah hilang
ditelan waktu. Dan Erliana Safira itu jelmaan baru diriku yang ku anggap
sebagai episode kekelaman dalam hidupku.
***
Berawal dari pernikahan yang kuanggap sebagai
pengkhianatan ibu terhadap keabadian cinta suci ayah yang kini telah tiada.
Pemikiran yang belum matang menjadikan labilnya emosi yang meledak-ledak
sehingga mendorongku untuk melakukan sesuatu yag akhirnya berbuah penyesalan.
Pergi jauh dari rumah dan keluarga,
bertahun-tahun merantau tak tentu arah tujuan, bertahan hidup di bawah telunjuk
orang, mengantarkanku pada sebuah kemandirian. Namun seiring berjalannya waktu,
kebencian pada ibu pun mulai memudar sedikit demi sedikit. Dengan kedewasaan
yang mengikuti pertambahan usiaku. Namun karena rasa ego yang begitu besar
membuatku harus membohongi hati nurani ini, bahwa aku sangat merindukannya.
Ingin sekali aku menemuinya untuk mengais kembali kasih sayang yang selama
delapan tahun tak ku dapatkan. Ibu…. Ingin sekali kata maaf itu terlontar dari
bibirku. Tapi apa daya, bekas luka dan kebencian itu masih jelas terpatri dalam sukmaku.
SATU
Malam itu, tidak
seperti biasanya ibu memanggilku. Kalaupun pernah, pasti ada sesuatu yang
penting.
Pernah
pada suatu hari, aku membuat masalah lagi di sekolah. Waktu itu aku baru
menginjak kelas dua SMP, maklumlah masa-masa remajaku penuh dengan kasus
kenakalan. Sampai-sampai aku harus diskors
untuk kesekian kalinya oleh pihak sekolah. Pada malam harinya aku dipanggil
oleh ibu, kemudian seperti biasa beliau menasehatiku dengan petuah-petuahnya
yang bijak. Petuah-petuah yang sudah berkali-kali aku dengar, namun sering kali
terabaikan. Tak ada nada kemarahan yang terlontar dari bibirnya. Namun dibalik
itu semua, aku bisa melihat dari sorot matanya, ada setitik kekecewaan. Hal ini
terlihat ketika beliau sudah tak mampu lagi menatapku, dan lebih memilih
beranjak ke kamarnya. Meninggalkanku yang kini dihinggapi rasa penyesalan.
Meskipun kejadian ini bukan pertama kalinya, aku membuat masalah, namun hari itu menjadi hari dimana aku benar-benar
merasa bersalah. Karena aku telah menyakiti wanita yang paling ku sayangi. Terlebih
ketika aku melihat butiran bening menggenang di pelupuk matanya. Itulah pertama
kalinya aku membuat beliau menangis. Dan sejak saat itu aku berjanji tak akan
pernah lagi membuatnya kecewa dan menjatuhkan air matanya karena ulahku.
***
Aku
hampiri ibu yang sudah menunggu di ruang tamu. Ku pandangi wajahnya. Tak ada
garis kemarahan ataupun kekecewaan terlihat di raut wajahnya. Yang ku lihat
malah sebaliknya. Raut wajah yang teduh dan senyuman hangatnya menyambut
kehadiranku.
sekali lagi, ku pandangi lekat-lekat wajah ibuku. Kutatap matanya, harapku disana terdapat jawaban atas rasa penasaranku. Namun yang ada hanyalah sorot mata teduh yang keindahannya mulai pudar dimakan usia.
sekali lagi, ku pandangi lekat-lekat wajah ibuku. Kutatap matanya, harapku disana terdapat jawaban atas rasa penasaranku. Namun yang ada hanyalah sorot mata teduh yang keindahannya mulai pudar dimakan usia.
Ternyata
ibu sudah dapat membaca pikiranku, beliau lansung membuka keheningan kala itu
dengan suaranya yang lembut.
“Sita…”
“ya bu..”
“ya bu..”
“duduk
sini, Nak”
Aku
pun duduk lebih dekat di samping ibu.
“Seperti
yang kau ketahui ayahmu sudah lama meninggalkan kita, dan kamu juga tahu kan
bagaimana keadaan kita sekarang?”
Sejenak
ibu menghentikan ucapannya. Ucapan ibu lebih cenderung pada sebuah pernyataan
bukan sebuah pertayaan. Sungguh ambiguitas. Tanpa menunggu jawabanku ibu
langsung melanjutkan ucapannya,
“Ibu sangat mencintai ayahmu. Cinta ibu padanya tak akan pernah pudar dimakan waktu. Tapi disisi lain ibu juga sangat mencintai kalian”.
“Ibu sangat mencintai ayahmu. Cinta ibu padanya tak akan pernah pudar dimakan waktu. Tapi disisi lain ibu juga sangat mencintai kalian”.
Ucapan
ibu kali ini membuatku semakin tak mengerti arah pembicaraannya. Kulihat raut
wajah ibu mulai berubah. Air wajah yang tadinya terlihat tenang, kini berubah
menjadi gundah dan ada keraguan tersirat dari sorot matanya.
“Sita,
tadi keluarga Om Faisal datang ke sini.”
Om
Faisal adalah teman terbaik ayah semasa hidupnya. Dan semenjak ayah meninggal
beliau bak pahlawan bagi keluarga kami. Karena dengan belas kasih dan kebaikan
beliaulah kami bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dan dengan uangnya juga aku
dan adikku, Rayhan bisa terus melanjutkan pendidikan sampai saat ini.
Sepengetahuanku beliau adalah seorang duda
yang tak memiliki anak. Istrinya meninggal karena penyakit kanker yang
terus menggerogotinya. Hal yang paling
kusuka dari beliau adalah kesetiaanya pada sang istri, karena sampai
saat ini beliau tak kunjung menikah lagi. Om Faisal memang laki-laki yang baik.
Rayhan adikku yang baru berusia sepuluh
tahun adalah salah satu fans om Faisal. Kedatangannya ke rumah kami selalu
melukiskan senyum di wajah lugu Rayhan. Mungkin karena Rayhan merindukan sosok
ayah yang tak pernah ia rasakan. Karena ketika ayah meninggal Rayhan masih
dalam kandungan ibu. Jadi wajar saja ketika om Faisal hadir dalam kehidupan
kami, bak pahlawan, menawarkan kasih sayang dan kebaikan kepada keluarga kami, seolah
menyembuhkan kerinduan Rayhan akan sosok seorang ayah. Kehadirannya di keluarga
kami seperti magnet, dengan cepat ia bisa menarik simpatik Rayhan dan ibu
khususnya. Tapi tidak dengan aku. Kebaikannya terhadap keluarga kami, aku
anggap sebagai usahanya menggantikan posisi almarhum ayah. Bagiku tidak ada
orang yang pantas mengambil posisi ayah di keluarga kami. Terutama di hatiku.
Meskipun itu adalah om Faisal, yang notabenenya teman baik ayah. aku tidak akan
pernah membiarkan hal itu terjadi sampai kapanpun. Mungkin hipotesisku terhadap
om Faisal terbilang buruk, hal ini karena ketakutanku akan posisi ayah yang
mulai tergantikan di hati ibu dan Rayhan. Mudah-mudahan ketakutan ini hanya
perasaanku saja.
Ibu bilang tadi keluarga om Faisal datang kesini, jangan-jangan...tiba-tiba pikiranku mencoba tuk menepis pikiran itu aku masih belum yakin, lalu ku dengarkan kembali penjelasn ibu.
Ibu bilang tadi keluarga om Faisal datang kesini, jangan-jangan...tiba-tiba pikiranku mencoba tuk menepis pikiran itu aku masih belum yakin, lalu ku dengarkan kembali penjelasn ibu.
Kemudian
beliau melanjutkan ucapannya. Dengan penuh basa-basi dan berputar-putrar
layaknya pantun harus ada sampiran sebelum ke isi, membuatku sulit untuk
mencerna perkataanya. Setelah lama beliau menjelaskan, akhirnya barulah aku
bisa menangkap arah pembicaraan ibu, segera ku potong pembicaraanya, karena aku
sudah muak dengan basa-basi ibu yang terlalu berbelit-belit.
“Kedatangan
keluarga om Faisal kesini untuk melamar Ibu kan? Dan ibu menerimanaya begitu
saja, tanpa memberitahu terlebih dahulu pada kami?”ucapku tegas.
Itulah
kali pertama aku keluarkan kata-kata paling egois yang pernah ku lontarkan
kepada Ibu.
Ibuku
kaget ketika nada bicaraku mulai meninggi. Beliau sadar kini ia bukan lagi
berhadapan dengan Sita kecil, tapi ia berhadapan sita yang kini mulai beranjak
dewasa.
“Ya…”
Itulah jawaban Ibu. Tak ada kata lain yang ia lontarkan selain dua fonem itu
Y.A. seakan ia pasrah dengan keputusannya.
Namun
jawaban singkat ibu seakan memperjelas semuanya. tentang anggapan burukku
terhadap om Faisal dan dan ketakutanku akan posisi ayah yang mulai tergantikan.
Ternyata semuanya benar.
Akupun
terdiam. Aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan. Mulutku kelu, namun dadaku
bergetar menahan amarah yang membuncah,
Lalu
ibu memecah suasana malam itu dengan meluncurkan alibi-alibi yang membuatku
semakin tak paham dengan jalan pikiran ibu.
“Ta
ibu tidak akan memaksamu untuk menerima dia sebagai ayahmu, tapi Ibu memohon
pengertianmu akan posisi ibu. Ibu minta
kamu menghargai keputusan Ibu, karena keputusan ini ibu lakukan hanya untuk
kalian.” Ucap ibu lirih.
“Ibu
lakukan semua ini hanya demi kalian.” Sekali lagi ibu berusaha meyakinkanku
akan keputusannya.
Menghargai.
Pengertian. Kata-kata yang membuatku geram setengah mati.
“Justru
keputusan ibu ini yang tak mengenal kata pengertian dan menghargai,” ucapku
dalam hati.
“Apapun
alasan ibu, Sita gak bisa dan gak mau menerimanya. Sita gak mau ada anggota
baru di rumah ini, selain kita!!”
Kalimat
perlawanan mulai meluncur dari mulutku.
Perlawanan yang keluar dari pikiran seorang remaja yang baru mau beranjak dewasa,dan emosi yang masih labil.
mendengar hal itu, ibu hanya bisa menatapku dengan sorot mata yang keteduhannya mulai redup. Butiran-butiran bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi pipinya.
Perlawanan yang keluar dari pikiran seorang remaja yang baru mau beranjak dewasa,dan emosi yang masih labil.
mendengar hal itu, ibu hanya bisa menatapku dengan sorot mata yang keteduhannya mulai redup. Butiran-butiran bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi pipinya.
Inilah
untuk kedua kalinya aku membuat beliau menangis lagi.
“Maaf
bu, aku tak bisa menepati janjiku. Kaulah yang terlebih dahulu membuatku
kecewa.” Lirihku dalam hati.
Akhirnya
perdebatan malam itu harus berakhir. Cukup sudah perlawananku sampai di situ.
Tapi bukan berarti aku setuju dengan pernikahan ibu dan om Faisal yang ternyata
sudah direncanakan tanpa sepengetahuanku. Aku hanya tidak ingin terlalu jauh
melukai hati wanita yang telah melahirkanku itu. Tanpa pamit dan basa-basi, aku
pun beranjak meningglkan ibu menuju kamarku, dan ibu lebih memilih tetap berada
di tempat duduknya.
***
DUA
Semenjak peristiwa
malam itu, aku tak pernah lagi menyapa ibu, atau hanya sekedar basa-basi. Yang
ada kini hanyalah kebencian yang semakin hari semakin memuncak. Sampai hari
pernikahan itu tiba, ibu tak jua mau mengubah keputusannya. Sejak saat itu,
penilaianku terhadap ibu berubah. Aku menganggap ibu adalah sosok yang egois.
Dia membuat keputusan hanya untuk dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan
keinginan anaknya. Aku khususnya. Aku tidak mau melibatkan Rayhan dalam masalah
ini. Karena aku tahu Rayhan pasti akan senang sekali bahwa om Faisal akan
menjadi ayah bagi dirinya. Namun suatu saat dia akan mengerti. Hanya waktu saja
yang belum tepat untuk dia mengerti,
bahwa kami tidak butuh materi yang berlimpah, kami hanya ingin kasih sayang ibu yang utuh yang ibu berikan hanya untuk kami. Dengan adanya om Faisal di rumah kami, aku merasa perhatian ibu semakin berkurang. Dan aku semakin bosan berada di rumah.
bahwa kami tidak butuh materi yang berlimpah, kami hanya ingin kasih sayang ibu yang utuh yang ibu berikan hanya untuk kami. Dengan adanya om Faisal di rumah kami, aku merasa perhatian ibu semakin berkurang. Dan aku semakin bosan berada di rumah.
Sampailah
pada puncak perlawananku, akupun nekad meninggalkan rumah. Aku merasa kini
rumah bukan lagi tempat yang nyaman seperti dulu. Ketika aku berada di sana,
aku merasa seperti orang asing. Tak ada yang peduli. Tak ada lagi tempat
untukku bersandar. Tak ada lagi penopang ketika aku terpuruk seperti ini.
Semuanya berubah semenjak om Faisal
hadir terlalu jauh dalam kehidupan kami.
Dengan
membawa tas ransel kesayanganku yang biasanya aku pakai untuk berkemah, dan
bermodalkan uang yang jumlahnya tidak mencapai satu juta, ya sekitar tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah sisa tabunganku selama duduk dibangku sekoalah,
aku pun membulatkan tekadku untuk angkat kaki dari rumah. Toh ibu dan Rayhan
juga tak kan peduli dengan kepergianku, meskipun pada awalnya mereka akan
khawatir, tapi pada akhirnya mereka akan lebih memilih om Faisal daripada aku.
Begitulah pikiranku saat itu. Pikiran yang sangat kekanak-kanakan. Namun pada
saat itu aku berfikir itu adalah suatu kebenaran.
Akupun
keluar rumah pada saat orang rumah sedang terlelap. Dengan barang-barang yang
telah kupersiapkan sebelumnya. Tak ada sepucuk surat perpisahan yang kutulis
dan kutinggalkan untuk ibu dan Rayhan, adikku Aku pun menaiki bus yang
bertujuan ke Bandung. Entah apa yang membuat Bandung jadi tujuanku. Tapi yang
pasti tekadku utuk meningglkan rumah tak tergoyahkan lagi.
Tepat, ketika aku meninggalkan rumah, usiaku sudah 18 tahun. Itu artinya aku sudah lulus Sekolah Menengah Atas alias SMA. Dan aku tidak perlu was-was untuk menempuh perjalanan jauh. Karena aku sudah memiliki KTP. Bagiku memiliki kartu identitas yang satu ini, adalah sebuah kebanggaaan, karena dengan memilikinya berarti kamu sudah dianggap dewasa oleh orang lain. Ketika orang bertanya akan asal usulku, aku cukup mengeluarkan KTP dan mereka cukup tahu kedatanganku ini hanya untuk mencari pekerjaan. Dan aku anggap selesai.
Tepat, ketika aku meninggalkan rumah, usiaku sudah 18 tahun. Itu artinya aku sudah lulus Sekolah Menengah Atas alias SMA. Dan aku tidak perlu was-was untuk menempuh perjalanan jauh. Karena aku sudah memiliki KTP. Bagiku memiliki kartu identitas yang satu ini, adalah sebuah kebanggaaan, karena dengan memilikinya berarti kamu sudah dianggap dewasa oleh orang lain. Ketika orang bertanya akan asal usulku, aku cukup mengeluarkan KTP dan mereka cukup tahu kedatanganku ini hanya untuk mencari pekerjaan. Dan aku anggap selesai.
Aku
pikir aku sudah berhak untuk menentukan masa depanku. Rencanaku saat itu,
pertama aku akan mencari tempat tinggal, kemudian aku akan mencari pekerjaan terlebih dahulu, sedangkan rencana kuliah
kusimpan dulu untuk sementara sampai uang tabunganku cukup untuk
menghantarkanku ke bangku kuliah.
Aku
ingin membuktikan kepada ibu, aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun
termasuk om Faisal.
TIGA
Setelah lima jam
menempuh perjalanan Jakarta-Bandung yang lumayan melelahkan, akhirnya aku bisa
menginjakan kakiku di Tanah Sunda yang kata orang merupakn kota yang ramah. Oh
ya??
Dari terminal Leuwi Panjang, tak ada tempat yang bisa dituju. Maklum saja aku tidak memiliki anggota keluarga maupun saudara disini.
Dari terminal Leuwi Panjang, tak ada tempat yang bisa dituju. Maklum saja aku tidak memiliki anggota keluarga maupun saudara disini.
Sesuai
dengan rencana sebelumnya, langkah pertama akupun mencari informasi mengenai
rumah kontrakan yang tentunya hemat sesuai dengan keadaan dompetku saat itu.
Berdasaarkan survey yang saya lakukan ke beberapa orang, maka kuputuskan untuk
mencarinya di daerah Cimahi. Akhirnya, dengan perjuangan tidak sebentar, aku
bisa mendapatkan tempat kontrakan yang sesuai dengan keadaan keuanganku saat
itu.
Esok
harinya akupun, meluncurkan rencanku yang kedua, yaitu mencari informasi
lowongan kerja. Dan ternyata, mencari
lowongan kerja untuk lulusan SMA sangat sulit, Hari demi hari, minggu demi
minggu sudah kulalui tapi panggilan kerja pun tak jua kunjung datang.
Sudah
genap sebulan aku meninggalkan rumah. Dengan sisa uang, yang semakin hari
semakin menipis, aku pun mencoba bertahan di atas puing-puing kehidupan yang
mulai rapuh. Aku merasakan kehidupanku menukik tajam. Sebuah resiko yang harus
aku hadapi atas keputusanku, meski sejujurnya aku tak menyangka akan seberat
ini.
Tiba-tiba
pikiranku melayang jauh, merindukan yang nun jauh disana.
“Ibu,
Rayhan…” ucapku lirih
Seketika
airmataku meleleh tak terkendali.
Tak
bisaa dipungkiri, kasih sayangku terhadap mereka masih tumbuh dalam hatiku yang
menjelma menjadi kerinduan yang tak terelakan.
***
Angan-anganku
untuk bisa kuliah sementara kulupakan. Sejak saat itu aku memutar otak untuk
bisa bekerja. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa makan
hari ini.
Meski
minim pengetahuan tentag bekerja, aku tak patah arang untuk mencoba lagi . Kali
ini aku coba melamar menjadi karyawan di sebuah restaurant di Bandung. Satu
minggu setelah penyerahan berkas lamaranku, aku pun mendapat panggilan.
Alhamdulillah, ucap syukur tiada henti aku panjatkan padaMu ya Allah, akhirnya
aku mendapatkan pekerjaan, meskipun belum seratus persen, karena harus melewati
tahap training selama satu minggu, artinya selama itu aku belum layak mendapat
gaji, namun bagiku ini adalah kesempatan terindah yang Tuhan kasih buatku.
Setelah
melewati tahap Training, akhirnya aku positif di terima sebagai pelayan di
restaurant tersebut. Dengan mengenakan seragam hitam putih, aku bekerja selama
delapan jam. Dari jam Sembilan pagi hingga tujuh malam. Pekerjaan yang cukup
melelahkan dan upahnya pun tidak terlalu besar. Tapi tak apalah.aku harus
selalu bersyukur. Nilai rupiahnya memang terasa kecil, tapi untukku jadi begitu
berharga. Bukan saja karena aku bisa menyambung hidupku selama beberapa hari,
tapi lebih karena uang itu adalah tetesan keringat perjuanganku untuk tetap
hidup dan menyalakan api impianku.
Setelah
kurang lebih dua tahun aku bekerja, keinginanku tuk bisa duduk di bangku kuliah
kembali terlintas dalam benakku. Angan-anganku yang dulu sempat terkubur, kini
semakin hari semakin kuat. Aku tidak mau melewatkan keempatan untuk kedua
kalinya.
Namun,
biaya kuliah untuk zaman sekarang tidaklah murah. Butuh banyak dana untuk bisa
sampai ke sana. Sedangkan keuanganku pas-pasan. Kalaupun ada uang, itu hanya
akan cukup untuk biaya masuknya saja, belum untuk uang semesteran. Jika hanya
mengandalkan penghasilanku yang tidak seberapa, tentu saja angan-anganku tuk
bisa kuliah musykil bisa tercapai.
Aku pun mencari alternative lain, yaitu mencari informasi tentang beasiswa.
dan kebetulan di tempat kerjaku ada teman yang kuliah dengan mengandalkan beasiswa. Namanya Ratih. Ia bisa kuliah di salah satu universitas negeri ternama karena mendapakan beasiswa dari salah satu produk rokok. Aku pun tertarik dan mencoba ikut seleksi. Alhamdulillah berkat bantuan Ratih, aku masuk seleksi dan menjadi salah satu peserta yang mendapatkan beasiswa di salah satu universitas Negeri ternama di Bandung.
aku pun mulai memilih jurusan yang aku minati. Dari dulu aku berminat menjadi seorang bilinguist, makanya aku memilih jurusan bahasa Inggris. Jurusan ini juga bisa menunjang kesuksesanku di tempat kerja. Karena kebanyakan pengunjung di restoran kami adalah pengunjung asing.
mudah-mudahan ini adalah pilihan yang tepat. Amin ya Robbal’alamin.
Aku pun mencari alternative lain, yaitu mencari informasi tentang beasiswa.
dan kebetulan di tempat kerjaku ada teman yang kuliah dengan mengandalkan beasiswa. Namanya Ratih. Ia bisa kuliah di salah satu universitas negeri ternama karena mendapakan beasiswa dari salah satu produk rokok. Aku pun tertarik dan mencoba ikut seleksi. Alhamdulillah berkat bantuan Ratih, aku masuk seleksi dan menjadi salah satu peserta yang mendapatkan beasiswa di salah satu universitas Negeri ternama di Bandung.
aku pun mulai memilih jurusan yang aku minati. Dari dulu aku berminat menjadi seorang bilinguist, makanya aku memilih jurusan bahasa Inggris. Jurusan ini juga bisa menunjang kesuksesanku di tempat kerja. Karena kebanyakan pengunjung di restoran kami adalah pengunjung asing.
mudah-mudahan ini adalah pilihan yang tepat. Amin ya Robbal’alamin.
EMPAT
Waktu
luang di hari minggu inii kugunakan untuk membenahi kamar kontrakanku yang
luasnya hanya 3x3 meter persegi. Pertama-tama kubongkar kardus-kardus yang
berisi tumpukan buku di sudut ruangan. Namun sebelum pekerjaan itu usai,
pandanganku terhenti pada sebuah diary using. Perlahan kubuka lembar demi
lembar diary itu. Dan ku lihat tulisan besar pada halaman pertama.
Nama : Zahratus
Syita (sita)
Kelas : II A
Tulisan
yang tidak terlalu rapi, namun cukup mengiris hati. Menambah kegundahan dan
rasa bersalahku.
Zahratus Syita yang berarti bunga di musim dingin itu, kini telah mati oleh rasa benci dan kesepian. Yang ada sekarang adalah Erliana Safira. Calon sarjana sebuah universitas negeri ternama di Bandung, yang membuka jalan hidupnya dengan bekerja paruh waktu di sebuah restaurant dan mengenyam pendidikan lewat beasiswa.
Zahratus Syita yang berarti bunga di musim dingin itu, kini telah mati oleh rasa benci dan kesepian. Yang ada sekarang adalah Erliana Safira. Calon sarjana sebuah universitas negeri ternama di Bandung, yang membuka jalan hidupnya dengan bekerja paruh waktu di sebuah restaurant dan mengenyam pendidikan lewat beasiswa.
Ada
rasa bangga terselip di lubuk hatiku. Namun seiring dengan itu, kebanggan itu
terasa tak ada artinya tanpa adanya orang-orang yang kita sayangi di samping
kita.
Acara
bongkar kamar hari ini cukup sampai di sini.
Aku sudah tak punya hasrat lagi untuk meneruskannya. Kurebahkan badanku
di atas tempat tidur yang masih penuh dengan tumpukan buku yang berserakan.
Pikiranku melayang jauh, menembus langit-langit kamar, dan entah ada dimana.
Pikiranku seperti menemui sosok nun jauh di sana. Sosok ibu yang genap empat
tahun ini aku benci sekaligus aku rindukan. Andai ibu ada di sini. Bagaimana
kabarnya? Apa yang sedang dia lakukan? Apa selama ini dia berusaha mencariku?
Tiba-tiba pertanyaan itu terus berkecaamuk di hatiku. Aku benar-benar
merindukaan sosok itu. Apa dia merindukanku, layaknya aku yang selalu
merindukannya. Ah tidak mungkin… sudahlah lupakan saja. Sisi lain dari hatiku,
menentang semua pertanyaan itu. Aku harus menjadi pribadi yang kuat dan mandiri
tanpa kehadirannya. Aku masih memiliki cinta ayah di hatiku. Cinta yang selama
ini membuat aku bertahan sampai detik ini.
LIMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar