Cari Blog Ini

Rabu, 15 Mei 2013

draft novel


Prolog
Lembayung senja sore ini, mengingatkanku akan kenangan masa lalu yang ku sesali. Membangkitkan kerinduanku akan kehangatan kasih seorang ibu yang kini entah di mana.
Andai aku dapat memutar waktu, aku ingin kembali padamu ibu. Kini, aku telah tumbuh menjadi seseorang yang mungkin dapat engkau banggakan. Namun, semua itu tak menghilangkan hausku akan kasih sayangmu.
Kesunyian hidup seakan telah berkawan denganku. Sejuta salah membuat diri ini semakin terbelenggu. Zahratus Syita,  hadiah terindah berupa nama Islam yang ibu sematkan, sebagai doa untukku. Namun kini hadiah itu telah hilang ditelan waktu. Dan Erliana Safira itu jelmaan baru diriku yang ku anggap sebagai episode kekelaman dalam hidupku.
***
Berawal dari pernikahan yang kuanggap sebagai pengkhianatan ibu terhadap keabadian cinta suci ayah yang kini telah tiada. Pemikiran yang belum matang menjadikan labilnya emosi yang meledak-ledak sehingga mendorongku untuk melakukan sesuatu yag akhirnya berbuah penyesalan.
Pergi jauh dari rumah dan keluarga, bertahun-tahun merantau tak tentu arah tujuan, bertahan hidup di bawah telunjuk orang, mengantarkanku pada sebuah kemandirian. Namun seiring berjalannya waktu, kebencian pada ibu pun mulai memudar sedikit demi sedikit. Dengan kedewasaan yang mengikuti pertambahan usiaku. Namun karena rasa ego yang begitu besar membuatku harus membohongi hati nurani ini, bahwa aku sangat merindukannya. Ingin sekali aku menemuinya untuk mengais kembali kasih sayang yang selama delapan tahun tak ku dapatkan. Ibu…. Ingin sekali kata maaf itu terlontar dari bibirku. Tapi apa daya, bekas luka dan kebencian itu masih jelas terpatri  dalam sukmaku.



  
 SATU
Malam itu, tidak seperti biasanya ibu memanggilku. Kalaupun pernah, pasti ada sesuatu yang penting.
Pernah pada suatu hari, aku membuat masalah lagi di sekolah. Waktu itu aku baru menginjak kelas dua SMP, maklumlah masa-masa remajaku penuh dengan kasus kenakalan. Sampai-sampai aku harus diskors untuk kesekian kalinya oleh pihak sekolah. Pada malam harinya aku dipanggil oleh ibu, kemudian seperti biasa beliau menasehatiku dengan petuah-petuahnya yang bijak. Petuah-petuah yang sudah berkali-kali aku dengar, namun sering kali terabaikan. Tak ada nada kemarahan yang terlontar dari bibirnya. Namun dibalik itu semua, aku bisa melihat dari sorot matanya, ada setitik kekecewaan. Hal ini terlihat ketika beliau sudah tak mampu lagi menatapku, dan lebih memilih beranjak ke kamarnya. Meninggalkanku yang kini dihinggapi rasa penyesalan. Meskipun kejadian ini bukan pertama kalinya, aku membuat masalah, namun  hari itu menjadi hari dimana aku benar-benar merasa bersalah. Karena aku telah menyakiti wanita yang paling ku sayangi. Terlebih ketika aku melihat butiran bening menggenang di pelupuk matanya. Itulah pertama kalinya aku membuat beliau menangis. Dan sejak saat itu aku berjanji tak akan pernah lagi membuatnya kecewa dan menjatuhkan air matanya karena ulahku.
***
Aku hampiri ibu yang sudah menunggu di ruang tamu. Ku pandangi wajahnya. Tak ada garis kemarahan ataupun kekecewaan terlihat di raut wajahnya. Yang ku lihat malah sebaliknya. Raut wajah yang teduh dan senyuman hangatnya menyambut kehadiranku.
sekali lagi, ku pandangi lekat-lekat wajah ibuku. Kutatap matanya, harapku disana terdapat jawaban atas rasa penasaranku. Namun yang ada hanyalah sorot mata teduh yang keindahannya mulai pudar dimakan usia.
Ternyata ibu sudah dapat membaca pikiranku, beliau lansung membuka keheningan kala itu dengan suaranya yang lembut.
“Sita…”
“ya bu..”
“duduk sini, Nak”
Aku pun duduk lebih dekat di samping ibu.
“Seperti yang kau ketahui ayahmu sudah lama meninggalkan kita, dan kamu juga tahu kan bagaimana keadaan kita sekarang?”
Sejenak ibu menghentikan ucapannya. Ucapan ibu lebih cenderung pada sebuah pernyataan bukan sebuah pertayaan. Sungguh ambiguitas. Tanpa menunggu jawabanku ibu langsung melanjutkan ucapannya,
“Ibu sangat mencintai ayahmu. Cinta ibu padanya tak akan pernah pudar dimakan waktu. Tapi disisi lain ibu juga sangat mencintai kalian”.
Ucapan ibu kali ini membuatku semakin tak mengerti arah pembicaraannya. Kulihat raut wajah ibu mulai berubah. Air wajah yang tadinya terlihat tenang, kini berubah menjadi gundah dan ada keraguan tersirat dari sorot matanya.
“Sita, tadi keluarga Om Faisal datang ke sini.”
Om Faisal adalah teman terbaik ayah semasa hidupnya. Dan semenjak ayah meninggal beliau bak pahlawan bagi keluarga kami. Karena dengan belas kasih dan kebaikan beliaulah kami bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dan dengan uangnya juga aku dan adikku, Rayhan bisa terus melanjutkan pendidikan sampai saat ini. Sepengetahuanku beliau adalah seorang duda  yang tak memiliki anak. Istrinya meninggal karena penyakit kanker yang terus menggerogotinya. Hal yang paling  kusuka dari beliau adalah kesetiaanya pada sang istri, karena sampai saat ini beliau tak kunjung menikah lagi. Om Faisal memang laki-laki yang baik.  Rayhan adikku yang baru berusia sepuluh tahun adalah salah satu fans om Faisal. Kedatangannya ke rumah kami selalu melukiskan senyum di wajah lugu Rayhan. Mungkin karena Rayhan merindukan sosok ayah yang tak pernah ia rasakan. Karena ketika ayah meninggal Rayhan masih dalam kandungan ibu. Jadi wajar saja ketika om Faisal hadir dalam kehidupan kami, bak pahlawan, menawarkan kasih sayang dan kebaikan kepada keluarga kami, seolah menyembuhkan kerinduan Rayhan akan sosok seorang ayah. Kehadirannya di keluarga kami seperti magnet, dengan cepat ia bisa menarik simpatik Rayhan dan ibu khususnya. Tapi tidak dengan aku. Kebaikannya terhadap keluarga kami, aku anggap sebagai usahanya menggantikan posisi almarhum ayah. Bagiku tidak ada orang yang pantas mengambil posisi ayah di keluarga kami. Terutama di hatiku. Meskipun itu adalah om Faisal, yang notabenenya teman baik ayah. aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi sampai kapanpun. Mungkin hipotesisku terhadap om Faisal terbilang buruk, hal ini karena ketakutanku akan posisi ayah yang mulai tergantikan di hati ibu dan Rayhan. Mudah-mudahan ketakutan ini hanya perasaanku saja.
Ibu bilang tadi keluarga om Faisal datang kesini, jangan-jangan...tiba-tiba pikiranku mencoba tuk menepis pikiran itu aku masih belum yakin, lalu ku dengarkan kembali penjelasn ibu.
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya. Dengan penuh basa-basi dan berputar-putrar layaknya pantun harus ada sampiran sebelum ke isi, membuatku sulit untuk mencerna perkataanya. Setelah lama beliau menjelaskan, akhirnya barulah aku bisa menangkap arah pembicaraan ibu, segera ku potong pembicaraanya, karena aku sudah muak dengan basa-basi ibu yang terlalu berbelit-belit.
“Kedatangan keluarga om Faisal kesini untuk melamar Ibu kan? Dan ibu menerimanaya begitu saja, tanpa memberitahu terlebih dahulu pada kami?”ucapku tegas.
Itulah kali pertama aku keluarkan kata-kata paling egois yang pernah ku lontarkan kepada Ibu.
Ibuku kaget ketika nada bicaraku mulai meninggi. Beliau sadar kini ia bukan lagi berhadapan dengan Sita kecil, tapi ia berhadapan sita yang kini mulai beranjak dewasa.
“Ya…” Itulah jawaban Ibu. Tak ada kata lain yang ia lontarkan selain dua fonem itu Y.A. seakan ia pasrah dengan keputusannya.
Namun jawaban singkat ibu seakan memperjelas semuanya. tentang anggapan burukku terhadap om Faisal dan dan ketakutanku akan posisi ayah yang mulai tergantikan. Ternyata semuanya benar.
Akupun terdiam. Aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan. Mulutku kelu, namun dadaku bergetar menahan amarah yang membuncah,
Lalu ibu memecah suasana malam itu dengan meluncurkan alibi-alibi yang membuatku semakin tak paham dengan jalan pikiran ibu.
“Ta ibu tidak akan memaksamu untuk menerima dia sebagai ayahmu, tapi Ibu memohon pengertianmu akan posisi ibu.  Ibu minta kamu menghargai keputusan Ibu, karena keputusan ini ibu lakukan hanya untuk kalian.” Ucap ibu lirih.
“Ibu lakukan semua ini hanya demi kalian.” Sekali lagi ibu berusaha meyakinkanku akan keputusannya.
Menghargai. Pengertian. Kata-kata yang membuatku geram setengah mati.
“Justru keputusan ibu ini yang tak mengenal kata pengertian dan menghargai,” ucapku dalam hati.
“Apapun alasan ibu, Sita gak bisa dan gak mau menerimanya. Sita gak mau ada anggota baru di rumah ini, selain kita!!”
Kalimat perlawanan mulai meluncur dari mulutku.
Perlawanan yang keluar dari pikiran seorang remaja yang baru mau beranjak dewasa,dan emosi yang masih labil.
mendengar hal itu, ibu hanya bisa menatapku dengan sorot mata yang keteduhannya mulai redup. Butiran-butiran bening yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi pipinya.
Inilah untuk kedua kalinya aku membuat beliau menangis lagi.
“Maaf bu, aku tak bisa menepati janjiku. Kaulah yang terlebih dahulu membuatku kecewa.” Lirihku dalam hati.
Akhirnya perdebatan malam itu harus berakhir. Cukup sudah perlawananku sampai di situ. Tapi bukan berarti aku setuju dengan pernikahan ibu dan om Faisal yang ternyata sudah direncanakan tanpa sepengetahuanku. Aku hanya tidak ingin terlalu jauh melukai hati wanita yang telah melahirkanku itu. Tanpa pamit dan basa-basi, aku pun beranjak meningglkan ibu menuju kamarku, dan ibu lebih memilih tetap berada di tempat duduknya.
***





DUA
Semenjak peristiwa malam itu, aku tak pernah lagi menyapa ibu, atau hanya sekedar basa-basi. Yang ada kini hanyalah kebencian yang semakin hari semakin memuncak. Sampai hari pernikahan itu tiba, ibu tak jua mau mengubah keputusannya. Sejak saat itu, penilaianku terhadap ibu berubah. Aku menganggap ibu adalah sosok yang egois. Dia membuat keputusan hanya untuk dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan keinginan anaknya. Aku khususnya. Aku tidak mau melibatkan Rayhan dalam masalah ini. Karena aku tahu Rayhan pasti akan senang sekali bahwa om Faisal akan menjadi ayah bagi dirinya. Namun suatu saat dia akan mengerti. Hanya waktu saja yang belum tepat untuk dia mengerti,
bahwa kami tidak butuh materi yang berlimpah, kami hanya ingin kasih sayang ibu yang utuh yang ibu berikan hanya untuk kami. Dengan adanya om Faisal di rumah kami, aku merasa perhatian ibu semakin berkurang. Dan aku semakin bosan berada di rumah.
Sampailah pada puncak perlawananku, akupun nekad meninggalkan rumah. Aku merasa kini rumah bukan lagi tempat yang nyaman seperti dulu. Ketika aku berada di sana, aku merasa seperti orang asing. Tak ada yang peduli. Tak ada lagi tempat untukku bersandar. Tak ada lagi penopang ketika aku terpuruk seperti ini. Semuanya berubah  semenjak om Faisal hadir terlalu jauh dalam kehidupan kami.
Dengan membawa tas ransel kesayanganku yang biasanya aku pakai untuk berkemah, dan bermodalkan uang yang jumlahnya tidak mencapai satu juta, ya sekitar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sisa tabunganku selama duduk dibangku sekoalah, aku pun membulatkan tekadku untuk angkat kaki dari rumah. Toh ibu dan Rayhan juga tak kan peduli dengan kepergianku, meskipun pada awalnya mereka akan khawatir, tapi pada akhirnya mereka akan lebih memilih om Faisal daripada aku. Begitulah pikiranku saat itu. Pikiran yang sangat kekanak-kanakan. Namun pada saat itu aku berfikir itu adalah suatu kebenaran.
Akupun keluar rumah pada saat orang rumah sedang terlelap. Dengan barang-barang yang telah kupersiapkan sebelumnya. Tak ada sepucuk surat perpisahan yang kutulis dan kutinggalkan untuk ibu dan Rayhan, adikku Aku pun menaiki bus yang bertujuan ke Bandung. Entah apa yang membuat Bandung jadi tujuanku. Tapi yang pasti tekadku utuk meningglkan rumah tak tergoyahkan lagi.
Tepat, ketika aku meninggalkan rumah, usiaku sudah 18 tahun. Itu artinya aku sudah lulus Sekolah Menengah Atas alias SMA. Dan aku tidak perlu was-was untuk menempuh perjalanan jauh. Karena aku sudah memiliki KTP. Bagiku memiliki kartu identitas yang satu ini, adalah sebuah kebanggaaan, karena dengan memilikinya berarti kamu sudah dianggap dewasa oleh orang lain. Ketika orang bertanya akan asal usulku, aku cukup mengeluarkan KTP dan mereka cukup tahu kedatanganku ini hanya untuk mencari pekerjaan. Dan aku anggap selesai.
Aku pikir aku sudah berhak untuk menentukan masa depanku. Rencanaku saat itu, pertama aku akan mencari tempat tinggal, kemudian aku akan mencari pekerjaan  terlebih dahulu, sedangkan rencana kuliah kusimpan dulu untuk sementara sampai uang tabunganku cukup untuk menghantarkanku ke bangku kuliah.
Aku ingin membuktikan kepada ibu, aku bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk om Faisal.


TIGA
Setelah lima jam menempuh perjalanan Jakarta-Bandung yang lumayan melelahkan, akhirnya aku bisa menginjakan kakiku di Tanah Sunda yang kata orang merupakn kota yang ramah. Oh ya??
Dari terminal Leuwi Panjang, tak ada tempat yang bisa dituju. Maklum saja aku tidak memiliki anggota keluarga maupun saudara disini.
Sesuai dengan rencana sebelumnya, langkah pertama akupun mencari informasi mengenai rumah kontrakan yang tentunya hemat sesuai dengan keadaan dompetku saat itu. Berdasaarkan survey yang saya lakukan ke beberapa orang, maka kuputuskan untuk mencarinya di daerah Cimahi. Akhirnya, dengan perjuangan tidak sebentar, aku bisa mendapatkan tempat kontrakan yang sesuai dengan keadaan keuanganku saat itu.
Esok harinya akupun, meluncurkan rencanku yang kedua, yaitu mencari informasi lowongan kerja.  Dan ternyata, mencari lowongan kerja untuk lulusan SMA sangat sulit, Hari demi hari, minggu demi minggu sudah kulalui tapi panggilan kerja pun tak jua kunjung datang.
Sudah genap sebulan aku meninggalkan rumah. Dengan sisa uang, yang semakin hari semakin menipis, aku pun mencoba bertahan di atas puing-puing kehidupan yang mulai rapuh. Aku merasakan kehidupanku menukik tajam. Sebuah resiko yang harus aku hadapi atas keputusanku, meski sejujurnya aku tak menyangka akan seberat ini.
Tiba-tiba pikiranku melayang jauh, merindukan yang nun jauh disana.
“Ibu, Rayhan…” ucapku lirih
Seketika airmataku meleleh tak terkendali.
Tak bisaa dipungkiri, kasih sayangku terhadap mereka masih tumbuh dalam hatiku yang menjelma menjadi kerinduan yang tak terelakan.
***
Angan-anganku untuk bisa kuliah sementara kulupakan. Sejak saat itu aku memutar otak untuk bisa bekerja. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa makan hari ini.
Meski minim pengetahuan tentag bekerja, aku tak patah arang untuk mencoba lagi . Kali ini aku coba melamar menjadi karyawan di sebuah restaurant di Bandung. Satu minggu setelah penyerahan berkas lamaranku, aku pun mendapat panggilan. Alhamdulillah, ucap syukur tiada henti aku panjatkan padaMu ya Allah, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan, meskipun belum seratus persen, karena harus melewati tahap training selama satu minggu, artinya selama itu aku belum layak mendapat gaji, namun bagiku ini adalah kesempatan terindah yang Tuhan kasih buatku.
Setelah melewati tahap Training, akhirnya aku positif di terima sebagai pelayan di restaurant tersebut. Dengan mengenakan seragam hitam putih, aku bekerja selama delapan jam. Dari jam Sembilan pagi hingga tujuh malam. Pekerjaan yang cukup melelahkan dan upahnya pun tidak terlalu besar. Tapi tak apalah.aku harus selalu bersyukur. Nilai rupiahnya memang terasa kecil, tapi untukku jadi begitu berharga. Bukan saja karena aku bisa menyambung hidupku selama beberapa hari, tapi lebih karena uang itu adalah tetesan keringat perjuanganku untuk tetap hidup dan menyalakan api impianku.
Setelah kurang lebih dua tahun aku bekerja, keinginanku tuk bisa duduk di bangku kuliah kembali terlintas dalam benakku. Angan-anganku yang dulu sempat terkubur, kini semakin hari semakin kuat. Aku tidak mau melewatkan keempatan untuk kedua kalinya.
Namun, biaya kuliah untuk zaman sekarang tidaklah murah. Butuh banyak dana untuk bisa sampai ke sana. Sedangkan keuanganku pas-pasan. Kalaupun ada uang, itu hanya akan cukup untuk biaya masuknya saja, belum untuk uang semesteran. Jika hanya mengandalkan penghasilanku yang tidak seberapa, tentu saja angan-anganku tuk bisa kuliah musykil bisa tercapai.
Aku pun mencari alternative lain, yaitu mencari informasi tentang beasiswa.
dan kebetulan di tempat kerjaku ada teman yang kuliah dengan mengandalkan beasiswa. Namanya Ratih. Ia bisa kuliah di salah satu universitas negeri ternama karena mendapakan beasiswa dari salah satu produk rokok. Aku pun tertarik dan mencoba ikut seleksi. Alhamdulillah berkat bantuan Ratih, aku masuk seleksi dan menjadi salah satu peserta yang mendapatkan beasiswa di salah satu universitas Negeri ternama di Bandung.
aku pun mulai memilih jurusan yang aku minati. Dari dulu aku berminat menjadi seorang bilinguist,  makanya aku memilih jurusan bahasa Inggris. Jurusan ini juga bisa menunjang kesuksesanku di tempat kerja. Karena kebanyakan pengunjung di restoran kami adalah pengunjung asing.
mudah-mudahan ini adalah pilihan yang tepat. Amin ya Robbal’alamin.
 

EMPAT
Waktu luang di hari minggu inii kugunakan untuk membenahi kamar kontrakanku yang luasnya hanya 3x3 meter persegi. Pertama-tama kubongkar kardus-kardus yang berisi tumpukan buku di sudut ruangan. Namun sebelum pekerjaan itu usai, pandanganku terhenti pada sebuah diary using. Perlahan kubuka lembar demi lembar diary itu. Dan ku lihat tulisan besar pada halaman pertama.
Nama    : Zahratus Syita (sita)
Kelas     : II A
Tulisan yang tidak terlalu rapi, namun cukup mengiris hati. Menambah kegundahan dan rasa bersalahku.
Zahratus Syita yang berarti bunga di musim dingin itu, kini telah mati oleh rasa benci dan kesepian. Yang ada sekarang adalah Erliana Safira. Calon sarjana sebuah universitas negeri ternama di Bandung, yang membuka jalan hidupnya dengan bekerja paruh waktu di sebuah restaurant dan mengenyam pendidikan lewat beasiswa.
Ada rasa bangga terselip di lubuk hatiku. Namun seiring dengan itu, kebanggan itu terasa tak ada artinya tanpa adanya orang-orang yang kita sayangi di samping kita.
Acara bongkar kamar hari ini cukup sampai di sini.  Aku sudah tak punya hasrat lagi untuk meneruskannya. Kurebahkan badanku di atas tempat tidur yang masih penuh dengan tumpukan buku yang berserakan. Pikiranku melayang jauh, menembus langit-langit kamar, dan entah ada dimana. Pikiranku seperti menemui sosok nun jauh di sana. Sosok ibu yang genap empat tahun ini aku benci sekaligus aku rindukan. Andai ibu ada di sini. Bagaimana kabarnya? Apa yang sedang dia lakukan? Apa selama ini dia berusaha mencariku? Tiba-tiba pertanyaan itu terus berkecaamuk di hatiku. Aku benar-benar merindukaan sosok itu. Apa dia merindukanku, layaknya aku yang selalu merindukannya. Ah tidak mungkin… sudahlah lupakan saja. Sisi lain dari hatiku, menentang semua pertanyaan itu. Aku harus menjadi pribadi yang kuat dan mandiri tanpa kehadirannya. Aku masih memiliki cinta ayah di hatiku. Cinta yang selama ini membuat aku bertahan sampai detik ini.






LIMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar