BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat, wayang adalah boneka tiruan yang terbuat dari pahatan kulit atau
kayu dsb, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan
drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang
yang disebut dalang. Sedangkan menurut Kamus
Umum Bahasa Sunda, wayang didefinisikan sebagai boneka atau penjelmaan dari
manusia yang terbuat dari kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan
bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang
mengandung penerangan.
Seni
Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang telah ada,
hal tesebut ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi. Sejarah
perkembangan seni wayang di Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-orang Hindu
datang ke Indonesia, melalui jalur perdagangan. Pada kesempatan tersebut
orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan Kitab Weda dan epos cerita maha
besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Kemudian
,Abad ke-9, bermunculan cerita-cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam bentuk
kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah
diadaptasi.
Berhubungan
dengan itu, makalah ini akan memaparkan hasil studi pustaka yang telah kami
lakukan, meliputi; sejarah seni wayang/asal-usul wayang di Indonesia,
jenis-jenis wayang, serta nilai-nilai yang terkandung dari pertunjukan seni
wayang.
Adapun
hal yang melatarbelakangi studi pustaka dan analisis Seni Wayang ini adalah
sebagai wujud apresiasi kami sebagai penikmat seni terhadap budaya tradisional,
yang kian hari semakin tersisih oleh budaya asing. Semoga dengan penyusunan
makalah ini, kita menyadari keindahan dan keagungan budaya tradisional yang
harus kita lestarikan, kita jaga dan kita banggakan sebagai kekayaan budaya
bangsa.
Kami
menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini, maka itu kami
menanti adanya kritik membangun dari pembaca guna perbaikan pada
makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
seni wayang masuk dan berkembang di Indonesia?
2. Mengapa
jenis wayang di Indonesia berbeda-beda?
3. Apa
yang kita peroleh dari pertunjukan seni wayang?
C. Batasan
Masalah
Seni
wayang masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Hindu, dari India melalui
cerita epos Ramayana dan Mahabarata. Seni wayang yang berkembang di Indonesia,
meliputi; wayang golek – Jawa Barat, wayang kulit – Jawa Tengah, wayang orang,
dan wayang jamblung.
Dalam
pertunjukan seni wayang tersirat pesan-pesan moral, agama,pendidikan,bahkan
kritikan terhadap pemerintah yang diilustrasikan ke dalam cerita tokoh-tokoh
pewayangan.
D. Tujuan
1. Menganalisis
perbedaan yang terdapat pada seni wayang terbagi kedalam beberapa jenis.
2. Mengetahui
sakralitas pertunjukan wayang, sebagai budaya tradisional bangsa.
3. Mengapresiasi
setiap keunikan dari pertunjukan seni wayang.
E. Manfaat
1. Mengenal
dan mengapresiasi salah satu budaya tradisional, yaitu seni wayang.
2. Meningkatkan
kecintaan terhadap kesenian tradisional, terutama yang berasal dari daerah
sendiri.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Kata apresiasi secara
leksikografis berasal dari bahasa Inggris apreciation, yang berasal dari kata kerja to
Apreciate, yang menurut kamus Oxford berarti to judge value of; understand or enjoy fully
in the right way; dan menurut kamus webstern adalah to estimate the quality of to estimate rightly tobe sensitevely
aware of. Jadi secara umum mengapresiasi adalah mengerti serta menyadari sepenuhnya,
sehingga mampu menilai secara semestinya.
Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiasi berarti
kegiatan mengartikan dan menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta
menjadi sensitif terhadap gejala estetis dan artistik sehingga mampu menikmati
dan menilai karya tersebut secara semestinya. Dalam apresiasi, seorang
penghayat sebenarnya sedang mencari pengalaman estetis. Sehingga motivasi utama
yang muncul dari diri penghayat seni adalah motivasi untuk mencari pengalaman
estetis.
Pengalaman estetis menurut Albert R. Candler adalah
kepuasan kontemplatif atau kepuasan intuitif. Sedangkan Yakob Sumardjo
menjelaskan pengalaman seni adalah keterlibatan aktif dengan kesadaran
yang melibatkan kecendekiaan, emosi, indera dan intuisi manusia dengan
lingkungan (benda seni) (2000, 161). Dalam proses pengalaman estetis unsur
perasaan dan intuisi lebih menonjol dibandingkan nalar; itulah sebabnya
maka dalam proses tersebut penghayat seni seolah kehilangan jati dirinya karena
seluruh kehidupan perasaannya larut ke dalam obyek seni, dan inilah yang
disebut dengan empati.
Proyeksi perasaan tersebut bersifat subyektif dan
sekaligus obyektif. Artinya subyektif karena penghayat menemukan kepuasan atau
kesenangan dari obyek seninya dan obyektif karena proyeksi perasaan itu
berdasarkan nilai-nilai yang melekat pada benda seni tersebut. Kualitas seni
yang ada dalam karya tersebut mengalirkan pengalaman secara dinamis dan
akhirnya mendatangkan kepuasan. Kualitas suatu karya biasanya muncul karena
adanya pola yang jelas yang terjalin pada unsur/elemen seni sehingga
membentuk sebuah struktur. Seorang apresian dalam melakukan penghayatan dan
penilaian terhadap sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari persoalan persepsi
yang muncul ketika berhadapan dengan karya tersebut.
Sebagian besar
faktor mengenai persepsi yang berpengaruh dalam pembentukan persepsi adalah
kualitas pribadi pengamat dan bukan kualitas obyek. Apapun kualitas obyek
maknanya sangat tergantung pada kualitas pribadi pengamat. Makna yang merupakan
pola dalam rangka pembentukan persepsi diperlukan untuk menyeleksi dan memahami
lingkungan serta untuk mengembangkan bahasa dan proses berpikir. Dalam
kaitannya dengan seni, istilah bahasa bisa diartikan adalah ungkapan hasil
proses perasaan dan pikiran melalui elemen dan strukturnya untuk menyampaikan
pesan.
Dalam kaitannya dengan apresiasi
terhadap karya seni, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi apresiasi seseorang
,yaitu;
1. Kemauan dan
minat,
2. Sikap terbuka,
3. Kebiasaan,
4. Peka atau
sensitif
5. Kondisi mental.
Kemauan dan
minat diperlukan untuk menikmati karya; sebab tanpa kemauan dan minat apresiasi
tidak akan berhasil. Kepekaan menangkap gejala unsur seni dengan segala
perubahannya merupakan suatu tuntutan, karena kepekaan seseorang akan membantu
menelusuri sumber kreasi dan sumber estetik suatu karya.sehingga dengan
demikian akan memperlancar menangkap makna yang tersirat dari yang tersurat
sebuah karya.
Kondisi mental
dalam rangka apresiasi adalah, intensitas seseorang dalam melakukan
penghayatan. Kurangnya intensitas karena adanya gangguan psikhis akan
menyebabkan apresiasi tidak maksimal.
Karya seni
menghadirkan perasaan untuk direnungkanan oleh penghayat sehinga karya itu
dapat dilihat dan didengar atau dengan pelbagai cara penerimaan melalui simbol
bukan melalui kesimpulan gejala. Oleh karena itu, suatu bentuk yang ekspresif
adalah suatu bentuk yang dapat dipahami dan dibayangkan secara menyeluruh
maksud yang dikandungnya, ataupun juga kualitas seluruh aspek yang ada di
dalamnya, sehingga bisa menggambarkan secara menyeluruh dalam beberapa hal yang
berbeda yang dipunyai elemen-elemen tersebut dalam pelbagai hubungan
analoginya.
Setiap
karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara
dan dari perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya,
maka sebenarnya sebuah karya seni merupakan rekaman peristiwa yang
dikomunikasikan oleh seniman kepada pembaca (penonton,
pendengar). Oleh karena itu struktur karya seni baru dapat dipahami
sepenuhnya bila kita melihat karya itu sebagai suatu tanda atau lambang
kehihudapan. Jadi jelaslah bahwa selain fungsinya sebagai sarana untuk
mengekspresikan segala sesuatu yang tak tampak tapi ada dalam diri manusia,
karya seni sebagai simbol juga berfungsi sebagai media untuk berkomunikasi.
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan
ungkapan ungkapan yang simbolis. Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan
mengenal dunia secara langsung kecuali melalui pelbagai simbol dan simbol ini
mempunyai unsur pembebasan dan perluasan pemandangan. Artinya, sebuah ide
jika sudah dinyatakan dengan menggunakan simbol maka ide itu menjadi sesuatu
yang multi interpretable. Bisa ditafsirkan dengan pelbagai makna.
Manusia
merupakan homo creator, artinya bahwa manusia adalah mahluk yang selalu
berkreasi. Untuk menuangkan kreasinya manusia harus selalu berkarya. Hal itu
karena selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, alam sekeliling ini tidak ada
arti apapun bila tidak ada karya dan sentuhan kreasi manusia.
Menurut
Soren Kierkegaard, salah seorang filsuf existensialis, mengatakan bahwa
hidup manusia mengalami tiga tingkatan, yaitu estetis, etis dan religius Dengan
kehidupan estetis manusia mampu menangkap dunia dan sekitarnya yang
mengagumkan. Kemudian dia menuangkannya kembali rasa kekaguman tersebut dalam
karya seni. Dalam tingkatan etis, manusia mencoba meningkatkan kehidupan
estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi, yaitu bertindak bebas dan mengambil
keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada sesama. Dan akhirnya,
manusia semakin sadar bahwa hidup mesti mempunyai tujuan. Segala tindakan
kemudian dipertanggung jawabkan kepada yang lebih tinggi, Tuhan Yang Maha Esa.
Bahasa adalah alat komunikasi atau alat penghubung antar
manusia, tanpa ada alat untuk berkomunikasi maka interaksi antar manusia itu
tidak akan pernah terjadi. Dalam kaitan dengan alat komunikasi maka istilah
bahasa dapat berujud bahasa tulis/lisan, bahasa isyarat, misalnya bunyi peluit,
morse; bahasa gerak tubuh, misalnya gerak tangan polisi pengatur lalulintas,
tarian atau bahasa bentuk, misalnya gambar, termasuk di dalamnya adalah
lukisan.
Bahasa sebagai
alat komunikasi bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari
fungsinya maka bahasa berfungsi sebagai:
1. Untuk tujuan
praktis, yaitu komunikasi antar manusia.
2. Untuk tujuan
artistik, yaitu ketika manusia mengolah bahasa guna mengungkapkan kebenaran
intuitif. Intuisi adalah suatu jenis kebenaran yang hanya dapat ditangkap
lewat perasaan dan penghayatan, lewat sejumlah gambaran kongkret inderawi atau
biasa disebut imajinasi.
3. Untuk tujuan
filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah, kuno, latar belakang sejarah,
kebudayaan dan lain-lain.
4. Untuk menjadi
kunci dalam mempelajari pengetahuan lainnya (Gorys Keraf, 1976: 14).
Jika proses
ekspresi seni dianggap sebagai sebuah peristiwa komunikasi, maka karya seni
rupapun dapat dianggap sebagai bahasa, sehingga setiap elemen rupa dan rekayasa
sturkturnya yang ada dalam sebuah karya rupa adalah identik dengan kata
dan gramatika. Lukisan sebagai bahasa simbolis memang menciptakan situasi
yang simbolis, artinya penuh tanda tanya tentang hal-hal yang diungkap
maksud dan arti yang dikandung dalam simbolnya. Dalam situasi
simbolis maka sebuah lukisan bukan bermaksud menerangkan atau menguraikan
sesuatu. Sebab sesuatu yang simbolis bila diterangkan atau diberi penjelasan
mendetail akan berkurang atau bahkan kehilangan daya simbolisnya.
Namun ada kalanya bahasa rupa tidak digunakan dalam
maknanya yang simbolis, tetapi memang untuk menjelaskan gejala-gejala visual
yang sangat nyata, bilamana diterangkan secara verbal maupun dengan bahasa yang
lain akan tidak efektif atau bahkan memungkinkan mengalami pendistorsian maksud
/makna.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa, karya seni sebagai
bahasa memiliki 2(dua) potensi, yaitu potensi sebagai bahasa simbolik dan
potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara secara denotatif. Dalam rangka
mengkomunikasikan gagasannya, potensi mana yang dipilih oleh seniman untuk
dimasukkan dalam karyanya sangatlah tergantung pada tujuan komunikasinya.
Ketika muncul kesadaran bahwa eksistensi kita menjadi lebih berarti bila kita
berkomunikasi dengan lingkungan, maka saat itulah kita memerlukan alat
komunikasi; dan alat tersebut bernama bahasa.
Dalam artian
yang luas, bahasa tidaklah sekedar ucapan, tetapi lebih pada sifatnya yang
simbolik. Dan dalam kaitannya yang simbolik tersebut bahasa dapat berupa gerak,
bunyi, warna, garis dan pendek kata segala hal yang dapat dipersepsi oleh
manusia lewat indera dan telah memberikan dampak psikhologis, kemudian
ditafsirkan arti dan maknanya. Itulah saya lebih setuju bahwa karya seni adalah
sebuah re interpretasi dari interpretasi kultural. Karya seni adalah tafsir
dari tafsir, sehingga kehadirannya bukanlah dari kekosongan belaka, bukan suatu
perbuatan yang asal-asalan.
Wujud sebuah karya seni pada dasarnya adalah representasi
pengalaman pengalaman estetis seorang seniman ketika dia mencoba mencari
jawaban atas apa yang ada dibalik gejala yang ditangkap oleh inderanya . Oleh
karena itu dalam melihat sebuah karya seni masalah bentuk dan isi karya
adalah masalah yang saling berkait. Bentuk adalah segala hal yang membicarakan
faktor intrinsik karya, mulai unsur, struktur, simbol, metafora dan lain
sebagainya. Sedangkan persoalan isi mempertanyakan nilai kognitif-informatif,
nilai emosi-intuisi, nilai gagasan, dan nilai nilai hidup manusia.
Ada dua pendapat tentang keberadan nilai dalam sebuah
karya seni. Ada yang bependapat bahwa nilai seni sebuah karya terletak pada
benda dan senimannya; Namun dapat pula pencarian hakekat seni dilakukan dari
aspek penerima seni; Artinya nilai sebuah karya seni tidak terletak pada
bendanya atau penciptanya, akan tetapi kepada penerimanya. Kalau dilihat dari
kaca mata komunikasi maka bukan komunikator dan media yang membuat sebuah pesan
itu berarti dan bermanfaat akan tetapi adalah interpretasi komunikanlah yang
menjadikan pesan itu bermakna.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Wayang di Indonesia
Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang
paling tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya
pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907
Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan
wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam
menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si
penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian
dari kegiatan religi animisme menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan
antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan,
tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa
terhindar dari segala malapetaka. Pada tahun 898 – 910 M wayang sudah menjadi
wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti
yang tertulis dalam prasasti balitung
sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (menggelar wayang
untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di zaman Mataram Hindu
ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dalam Bahasa Jawa kuna (kawi) pada
masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M.
Prasasti
berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute, Amsterdam,
contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in
Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan
Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal 431). Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung
teks ini mengenai desa Sangsang, yang ditandai sebagai sebuah tanah perdikan,
yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi di Dalinan. Lagi setelah
menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di dalam tenda
perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. “Untuk keselamatan bangunan suci serta
rakyat” pertunjukan (tontonan)
disakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu melagukan (macarita) Bhima
Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk melagukan Ramayana; si
Mungmuk berakting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi mempertunjukkan
Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara.
Pentingnya
teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10,
episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan dalam
peristiwa-peristiwa ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang
berhubungan dengan Bima boleh jadi telah dipertunjukan sebagai sebuah teater
bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asal-usul wayang, sampai saat ini
masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang mendukungnya. Ada yang
meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan mengatakan karena
istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa Jawa.
Dr.G.A.J.Hazeu,
dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th
1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal
dari kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan
banyak menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala,
kepyak, wayang. Pada susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya
akan menemukan bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah mburi, gandhok
senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan),
dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam
membangun rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over
de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa,
pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang
di Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah
ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.N.J.
Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan pertunjukan wayang
di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga
bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis
buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula
yang mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in
Europa - Prof G. Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno
terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada
pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan
bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru
kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam
majalah Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan
kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying
(Mandarin), artinya pertunjukan bayang-bayang, yang sama dengan wayang
dalam bahasa Jawa.
Meskipun
di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari
Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud
wayang dan bagaimana dengan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan
wayang kulit, umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan
Mahabharata? Dalam papernya Attempt at a historical outline of the shadow
theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 1969), mengatakan,
sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater wayang yang terdapat
di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita. Paper
tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak
kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh
cerita-cerita yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari
India. Sejarah penyebaran wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan
ke timur umumnya sampai ke Asia Tenggara.
Di Timur
Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang
Talun, di Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari
Thailand ke Malaysia disebut Wayang Siam. Sedangkan yang langsung dari
India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari Indonesia ke
Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu Wayang
Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand.
Abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, terutama
para pedagangnya. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya
dengan Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan
Ramayana dalam bahasa Sanskrit. Abad ke-9, bermunculan cerita dengan bahasa Jawa
kuno dalam bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana,
yang telah diadaptasi kedalam cerita yang berbentuk kakawin tersebut, misalnya
cerita-cerita seperti: Arjunawiwaha karangan Empu Kanwa, Bharatayuda karangan
Empu Sedah dan Empu Panuluh, Kresnayana karangan Empu Triguna, Gatotkaca Sraya
karangan Empu Panuluh dan lain-lainnya. Pada jamannya, semua cerita tersebut
bersumber dari cerita Mahabharata, yang kemudian diadaptasi sesuai dengan
sejarah pada jamannya dan juga disesuaikan dengan dongeng serta legenda dan
cerita rakyat setempat. Dalam mengenal wayang, kita dapat mendekatinya dari
segi sastra, karena cerita yang dihidangkan dalam wayang terutama wayang kulit
umumnya selalu diambil dari epos Mahabharata atau Ramayana. Kedua cerita
tersebut, apabila kita telusuri sumber ceritanya berasal dari India.
Mahabharata bersumber dari karangan Viyasa, sedangkan Epos Ramayana karangan
Valmiki.
Hal ini
diperkuat fakta bahwa cerita wayang yang terdapat di Asia terutama di Asia
Tenggara yang umumnya menggunakan sumber cerita Ramayana dan Mahabharata dari
India. Cerita-cerita yang biasa disajikan dalam wayang, sebenarnya merupakan
adaptasi dari epos Ramayana dan Mahabharata yang disesuaikan dengan cerita
rakyat atau dongeng setempat. Dalam sejarahnya pertunjukan wayang kulit selalu
dikaitkan dengan suatu upacara, misalnya untuk keperluan upacara khitanan,
bersih desa, menyingkirkan malapetaka dan bahaya. Hal tersebut sangat erat
dengan kebiasaan dan adat-istiadat setempat.
Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa,
dapat kita temukan berbagai prasasti pada jaman raja-raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Namun tidak jelas apakah pertunjukan wayang tersebut
seperti yang kita saksikan sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Balitung,
telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang. Hal ini juga ditemukan dalam
sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, pada jaman Raja Airlangga dalam
abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang
cukup tua. Sedangkan bentuk wayang pada pertunjukan di jaman itu belum jelas
tergambar bagaimana bentuknya. Pertunjukan teater tradisional pada umumnya
digunakan untuk pendukung sarana upacara baik keagamaan ataupun adat-istiadat,
tetapi pertunjukan wayang kulit dapat langsung menjadi ajang keperluan upacara
tersebut. Ketika kita menonton wayang, kita langsung dapat menerka pertunjukan
wayang tersebut untuk keperluan apa. Hal ini dapat dilihat langsung pada cerita
yang dimainkan, apakah untuk keperluan menyambut panen atau untuk ngruwat dan
pertunjukan itu sendiri merupakan suatu upacara.
Mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa
dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil
disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di zaman kerajaan kediri
dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu
diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu
menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat
centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun
lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di zaman awal majapahit
wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’
ini ) dan sudah dilengkapi dengan pelbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad
sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat
‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’
Abad duabelas sampai abad limabelas
adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya pelbagai
mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad
limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya
islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah
kerajaan demak (1500-1550 M) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan
dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan
wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber
karya prabangkara (zaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit
kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh
dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi
kerusuhan bertema sara).
Gambar dibuat menyamping, tangan
dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang
menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera
dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh
gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang
awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan
gunungan.
Sunan kudus kebagian tugas
men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut
dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi
mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit
kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau
kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan selain wayang purwa sang
ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keratin.
Sementara untuk konsumsi rakyat
jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan zaman kerajaan pajang memberikan
ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai
ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai
mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai
ditambahkan celana dan kain.
Sunan kudus juga memperkenalkan
wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari
kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai
memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang.
Panembahan senapati menambahkan pelbagai
tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan
agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan
pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’
dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh raksasa
bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti
beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh
dibuat beberapa wanda (bentuk).
Setelah semua selesai dilaksanakan,
diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang
akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’. pelbagai inovasi dan
reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari zaman mataram islam sampai zaman
sekarang dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dalang pelbagai peralatan
elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan
begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden,
maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran
sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana yang cerita ‘pakem’ dan mana
‘carangan’.
B.
Wayang Golek
Asal
mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan
lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat
dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari
wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583
Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek
yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan
bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah
70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro.
Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir.
Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit
sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut
sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek
adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon,
wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati
(1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak
atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran
Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil
dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu
berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon
Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840
(Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang
Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem
memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di
Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang
dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek
yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah
Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda
dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang
menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula
wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda
pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
1. Jenis-jenis
Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang
golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang
golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan
legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah
wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar
bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa
(ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya
menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk
menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek
modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun
1970--1980.
2.
Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah
atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya,
hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata,
alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan
wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena
dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa
digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
3.
Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian
tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan
nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu
disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode
etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila
Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan
tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada
tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu:
Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga
nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi
con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru
penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu
pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat.
Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa
gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga
etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri,
maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan.
Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia,
demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
C.
Wayang Kulit
Wayang kulit merupakan sejenis hiburan
pementasan bayang yang terhasil dari patung yang dibuat daripada belulang
(kulit lembu/kerbau/kambing). Terdapat pelbagai jenis wayang kulit bergantung
kepada tempat asal mereka. Ia merupakan seni tradisional Asia Tenggara merangkumi
Thailand,Malaysia
dan Indonesia,
yang terutama berkembang di Phattalung wilayah selatan Thailand,Jawa dan disebelah timur
semenanjung Malaysia
seperti di Kelantan
dan Terengganu.
Wayang
kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang,
dengan diiringi oleh muzik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, iaitu layar yang terbuat dari kain
putih, sementara di belakangnya disuluhkan lampu eletrik atau lampu minyak (dian), sehingga para penonton yang berada
disebelah berlawanan layar dapat melihat bayangan wayang yang berada ke kelir.
Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan
akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Wayang kulit lebih
popular di Jawa
bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.
D.
Wayang Orang
Wayang orang atau wayang wong mungkin kurang populer
dibandingkan dengan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan wayang wong
tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang wong terasa istimewa karena
kita bisa menikmati cerita sembari melihat keindahan gerakan para penari. Sama
halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang wong sudah bisa disaksikan
di luar keraton atau kerajaan.
Pada dasarnya, cerita atau peran yang ditampilkan dalam
pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit. Biasanya lakon yang
dibawakan adalah lakon dalam cerita epik seperti Mahabrata dan Ramayana.
Bedanya jika dalam wayang kulit peran itu ditampilkan dalam sosok wayang, maka
dalam wayang orang lakon atau peran semacam itu dibawakan oleh orang atau wong
dalam bahasa jawa.
Tugas dalang wayang wong tidak jauh berbeda dengan dalang
wayang kulit. Namun tugas dayang wong lebih ringan karena para pelakon
melakukan percakapan sendiri. Dalang wayang wong hanya menyampaikan sedikit
narasi baik ketika membuka pertunjukan, di tengah pertunjukan atau di akhir
pertunjukan.
Wayang wong memiliki gerakan-gerakan tertentu yang harus
dipatuhi oleh para penarinya. Untuk para penari laki-laki, beberapa gerakannya
adalah alus, gagah, kambeng, bapang, kalang
kinantang, kasar, gecul, kambeng dengklik, dan kalang
kinantang dengklik. Sedangkan gerakan para penari perempuan sering disebut nggruda
atau ngenceng encot. Ada sembilan gerakan dasar atau joged pokok
yang ditampilkan para penari wanita serta dua belas joged gubahan atau
gerakan tambahan serta joged wirogo yang memperindah tarian yang
ditampilkan.
Para penari yang membawakan lakon wayang biasanya adalah
mereka yang sudah terbiasa menari tarian klasik Jawa seperti bedhaya ketawang
atau bedhaya srimpi. Hal ini pulalah yang menjadikan wayang wong lebih istimewa
dibanding dengan wayang jenis lain seperti kulit atau golek.
Menurut sejarah, wayang wong diciptakan setelah wayang kulit
oleh Raden Panji Asmarabangun, putra Lembu Amiluhur yaitu raja dari kerajaan
Jenggala. Panji Asmarabangun sendiri merupakan salah satu seniman yang hebat di
masanya. Dia pula yang kerap kali menjadi dalang di setiap pertunjukan wayang
wong yang diciptakannya. Cerita yang diangkat pada masa itu adalah cerita
tentang kerajaan Jenggala. Pemilihan cerita itu tidak lain merupakan permintaan
raja Airlangga, ayah dari Lembu Amiluhur karena beliau ingin agar sejarah
kerajaan diketahui oleh semua kerabat kerajaan serta keturunannya. Wayang wong
yang berkisah tentang kerajaan Jenggala saat ini sering dikenal dengan wayang
topeng atau wayang gedog.
Pagelaran wayang wong atau wayang orang bisa kita nikmati
salah satunya di pelataran Candi Prambanan yang secara reguler mementaskan
sendratari Ramayana, cerita epik dalam masyarakat Hindu. Dulu wayang wong
sempat mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Namun seiring dengan
berkembangnya jenis-jenis hiburan yang baru, keberadaan wayang wong semakin
terhimpit. Semoga saja ada upaya untuk melestarikan wayang wong sebagai
perwujudan khasanah kebudayaan daerah yang menjadi identitas budaya nasional.
BAB IV
SIMPULAN
Karya seni sebagai bahasa memiliki dua potensi, yaitu
potensi sebagai bahasa simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan
suara secara denotatif.
Setiap karya seni tidak tumbuh dari
sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara dan dari perjalanan sejarah serta
dalam suatu konteks sosial budaya, maka sebenarnya sebuah karya seni merupakan
rekaman peristiwa yang dikomunikasikan oleh seniman kepada
pembaca (penonton, pendengar).
Salah satu karya seni yang berkembang di Indonesia adalah
seni wayang, yang merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling
tua. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya
pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907
Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan
wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan
yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa
tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang,
Seni wayang yang terkenal di
Indonesia ada tiga, yaitu wayang golek, wayang kulit dan wayang orang.
DAFTAR
PUSTAKA
Nisfiyanti, Yanti. (2005). Wayang
Media Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya pada Masyarakat Sunda. [Online]
Tersedia: http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/wayang-golek-jawa-barat.html
[24 Oktober 2010]
Satimin. (2010). Mengenal Budaya dan Sejarah Wayang Golek. [Online].
Tersedia: http://www.mypangandaran.com/artikel/detail/global/37/mengenal-budaya-dan-sejarah-wayang-golek.html.
[24
Oktober 2010]
Triscbn. (2009).
Sekilas Sejarah Wayang di Indonesia. [Online].
Tersedia: http://triscbn.wordpress.com/2009/09/15/sekilas-sejarah-wayang-di-indonesia/. [24
Oktober 2010]
Budaya
Wayang Kulit. (2009). Sejarah Wayang
Kulit. [Online]. Tersedia: http://budayawayangkulit.blogspot.com/2009/01/wayang-kulit-wayang-salah-satu-puncak.html.
[24
Oktober 2010]
Truly
Jogya. (2006). Mengenal Wayang Wong.
[Online]. Tersedia: http://trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=7&news_id=322.
[24 Oktober 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar